Kapten Naim sesekali tampak gusar. Bagaimana tidak, mesin kapal yang dia nakhodai kerap berasap karena kepanasan. Rasa gusar itu tampak pada raut mukanya, yang sepintas memiliki kekhasan orang laut suku Bajau.
Ketika itu kapal kayu kami berayun mengarungi perairan Togean, selepas dari pelabuhan di Kota Ampana, Sulawesi Tengah.
Namun, kegusaran itu sirna saat saya bertatap pandang dengannya. Sorot mata Naim seakan ingin mengatakan bahwa keadaan kapalnya baik-baik saja. Hati saya pun sedikit lega.
Lalu, tiga ekor lumba-lumba berlomba beriringan di samping kapal kami, timbul dan tenggelam. Kemunculannya menjadi hiburan bagi kami dan para awak kapal. Seorang kawan yang sedari tadi tampak gusar dan cemas karena mempunyai fobia terkait laut, kini tampak terkesima dengan senyum mengembang. Kami terhanyut menikmati suguhan terbaik lautan Sulawesi.
Saya terheran-heran menyaksikan deretan permukiman di ujung-ujung batu karang yang mencuat di perairan ini. Kemudian Kapten Naim berseru kepada saya, “Di mana ada batu, di situ pasti jadi rumah!”
Kira-kira kami membutuhkan waktu sekitar empat jam untuk menyeberang dari Kota Ampana ke Pulau Wakai. Inilah pulau pelabuhan terbesar di perairan Togean yang menjadi akses utama bagi pejalan untuk mengelilingi surga bahari di Sulawesi Tengah.
Kepulauan Togean membentang sejauh 90 kilometer di tengah Teluk Tomini, sebuah bentang keindahan alam penuh warna. Kabupaten Tojo Unauna, telah mendapat penetapan statusnya sebagai Taman Nasional Kepulauan Togean pada 2004. Pulau-pulau kecil itu dihuni oleh para gipsi laut, nama lain dari suku Bajau. Mereka menghuni 66 pulau kecil yang tersebar di teluk ini. Saya terheran-heran menyaksikan deretan permukiman di ujung-ujung batu karang yang mencuat di perairan ini. Kemudian Kapten Naim berseru kepada saya, “Di mana ada batu, di situ pasti jadi rumah!”
Kami meninggalkan Pulau Wakai sejak matahari mulai merangkak terbit, lalu menghabiskan perjalanan menuju Pulau Papan demi menjadi saksi keajaiban rona jingga sang surya. Jaraknya sekitar empat jam perjalanan perahu dari Wakai.
Selama perjalanan, saya berpikir, mungkin orang Bajau adalah sebagian suku laut nomaden yang tersisa di muka bumi ini. Ratusan tahun silam, mereka berlayar melintasi batas-batas wilayah negara. Kini, suku ini terus bertahan dari gilasan roda-roda zaman dan kerusakan ekosistem laut. Banyak dari suku ini yang akhirnya terpaksa menetap tinggal di rumah-rumah permanen karena desakan keadaan dan peraturan. Kendati demikian, masih banyak juga para gipsi laut yang bertahan tinggal di perahu dan melayari Tomini. Setidaknya, itu yang saya temui ketika singgah di Pulau Papan.
Pulau Papan menjadi salah satu pulau perkampungan terbesar suku Bajau di Togean. Entahlah, kata “papan” memang kerap dihubungkan dengan “rumah”. Pemerintah membangun jembatan sepanjang dua kilometer yang menghubungkan Pulau Papan dan Pulau Malenge. Kehidupan orang Bajau berpusat di Pulau Papan, sementara untuk sarana pendidikan dan pusat pemerintahan berada di Pulau Malenge.
Pagi menjelang di Pulau Papan, saya menikmati suasana hiruk pikuk kesibukan masyarakat Bajau dengan segenap pancaindera. Anak-anak berseragam sekolah, mereka bergegas berjalan kaki menyusuri jembatan menuju sekolah mereka yang terletak di seberang pulau. Pegawai pemerintahan, guru, dan warga melintasi jembatan untuk melengkapi keseharian di kedua pulau.
“Togean bukanlah destinasi untuk turis,” ujarnya, “tetapi ini adalah tempat untuk pejalan.”
Saya duduk di satu sisinya, sembari memperhatikan semua keriuhan yang begitu bercerita banyak. Terkadang, saya tanpa sadar meninggalkan kamera, terhanyut oleh pemandangan di depan: suara sampan kecil yang bermesin dan celoteh warga yang menambah romantika kisah hidup para gipsi laut.
Ketika perjalanan pulang, kami singgah di Pulau Kadidiri. Di sini saya menjumpai sanggraloka yang pertama berdiri di Kepulauan Togean, namanya Kadidiri Resort. Kami disambut ramah di ujung dermaganya oleh sosok mungil berambut panjang dengan senyum mengembangnya. Tampaknya, dia girang melihat kedatangan kami.
Elis, nama perempuan penerus generasi keluarga yang merintis sanggraloka ini. Dia menerima kami dengan hangat di pelataran depan kantor penerima tamu, yang menurut saya lebih terlihat seperti rumah. Elis bercerita panjang lebar tentang tempat tinggalnya, bagaimana sang bunda sempat terkatung-katung di laut selama beberapa hari karena menerjang cuaca buruk saat merintis tempat ini.