Saya kagum dengan sosok Elis, perempuan energik yang begitu bersemangat dan konsisten menyebarkan pesan keberlangsungan dan keramahan manusia terhadap lingkungannya. Elis mampu menerjemahkannya menjadi gaya hidup dan peraturan di sanggraloka milik keluarganya. Kenyamanan dan keramahan Elis di Kadidiri menjadi alasan banyak pejalan negeri sendiri dan mancanegara untuk bertetirah hingga berbulan-bulan di sini.
Matahari mulai tenggelam ketika kami berlayar dalam kegelapan menuju Pulau Wakai. Kapten Naim memberi kode kepada kami untuk mematikan semua alat penerangan. Orang-orang Bajau terbiasa melaut dan bernavigasi menggunakan tanda-tanda alam dan membaca bintang saat mengarungi lautan. Dalam kelamnya malam, kami melaju perlahan dan terayun di perairan tenang Togean.
Bukanlah hal mudah menempuh perjalanan ke surga bahari Kepulauan Togean. Saya pikir inilah salah satu kendala mengapa destinasi ini belum menjadi pilihan utama—ketimbang Bali atau kawasan-kawasan lain yang lebih mudah dijangkau. Namun, para gipsi laut tetap semangat memelihara dan menjaga kelestarian daerah mereka.
Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, saya teringat pendapat kawan seperjalanan. “Togean bukanlah destinasi untuk turis,” ujarnya, “tetapi ini adalah tempat untuk pejalan.”