Lawatan ke Kampung Tan

By , Kamis, 2 Februari 2017 | 16:00 WIB

Sawah-sawah menghampar lepas. Punuk-punuk bukit disilau matahari.

Ladang-ladang petani tumbuh di lereng-lereng bukit. Sungai mengalir ke hilir. Nyiur kelapa mengibas seturut angin. Harmoni alam ini bak lukisan Wakidi, pesohor mooi indie.

“Kenapa tempat seindah ini bisa melahirkan pemberontak?” Roger Tol, seorang peneliti Belanda, pernah berkata demikian.

Pemberontak yang dimaksud adalah seseorang yang lahir di kampung di tengah Bukit Barisan. Pria dusun yang kemudian hari menjadi orang yang paling dicari oleh Interpol, polisi rahasia Eropa. Namun, mati di tangan prajurit-prajurit republiknya sendiri.

Saya sampai di Kota Payakumbuh ketika langit hitam sempurna. Kota ini adalah kota perlintasan yang menghubungkan Riau dengan Sumatra Barat, juga kota dengan aroma makanan di mana-mana. Kulinernya berserak dari kaki lima hingga kedai kota,  Kinyam Café salah satunya. Kedai ini memajang barang-barang lama. Dari piringan hitam, senapan laras panjang, mesin jahit, sampai sepeda motor tua. Saya memilih duduk di beranda, memesan kopi hitam tanpa gula.

Cukup lama saya mematut-matut gambar siluet wajah yang digantung di sudut kafe. Pada bagian bawah gambar tercetak satu kalimat yang menggetarkan. “Merdeka Jangan Setengah-Setengah,” begitu bunyinya.

“Itu gambar Tan?” tanya saya ke karyawan kedai kopi itu.

“Iya, Bang,” karyawan tadi memastikan.

“Kampungnya kurang lebih satu jam dari sini,” sambung Yusuf, seorang kawan yang menemani saya di kedai ini. Meski Yusuf lahir di Payakumbuh, ia belum pernah datang ke kampung Tan.

Saya mengingat, perkenalan pertama dengan Tan terjadi sekitar satu dekade yang lalu. Rian, seorang kawan, rela meminjamkan sebuah buku bersampul merah kepada saya. Patjar Merah Indonesia, judul roman itu.

“Ini tentang Tan Malaka,” kata Rian sembari meneguhkan isi bukunya. “Dia juga pahlawan.”

Pada gonjong yang menjorok ke depan, sebuah nama berhuruf kapital ditulis dengan warna dan latar yang mencolok—kuning dan hijau: “Tan Malaka”. Puluhan tahun silam, nama itu sempat tabu untuk dikenal.

Di kampung, saat saya sekolah, nama Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, Kartini, Cut Nyak Dhien, dan banyak nama lainnya acap menjadi narasi perjuangan yang diulang-ulang penuh semangat oleh guru. Lalu, Tan? Siapa dia? Dari karangan Matu Mona saya mulai mengenal pria yang disebut “Pacar Merah” dalam romannya itu.

Selepas dari kedai kopi, saya dan Yusuf bersepeda motor menuju Nagari Pandam Gadang, Kabupaten Limapuluhkota. Lalu lintasnya tak seramai Kota Payakumbuh. Bukit-bukit mengapit jalan raya. Di persawahan pinggir jalan, para petani sedang menanam benih padi dan sebagian menuai padi. Sepertinya, musim panen di sini tak diundang untuk datang serentak lagi.