Saat kami asyik menikmati pemandangan di depan mata, yang diiringi suara napas dan gelembung udara, tiba-tiba terdengar sebuah suara lain yang amat mengejutkan kami. Suara ledakan dalam balutan air! Tak tanggung-tanggung, suara itu terdengar hingga tiga kali.
Ternyata, suara itu diakibatkan oleh ulah nelayan yang membuat kami miris. Penggunaan bom guna menangkap hasil laut itu mendatangkan hasil instan bagi pendapatan mereka. Namun, merusak ekosistem laut. Dalam hati saya berdoa, semoga saja kekhawatiran akan hilangnya kemolekan bawah laut ini tak lagi berlanjut di perairan Bolsel.
Kami menghabiskan empat puluh menit di titik penyelaman ini, menjelajahi cerukan-cerukan yang kami temui. Salvador Dali mini, sebuah sponge coral khas di perairan Sulawesi, kami jumpai di kedalaman. Terumbu ini dinamakan demikian, akibat bentuknya yang unik, seolah meleleh persis seperti objek lukis Salvador Dali. Namun sayangnya, barakuda yang menjadi target utama kami tampaknya masih malu-malu untuk memamerkan diri. Satu per satu kami pun menuju permukaan, menyudahi penyelaman di Lion Corner.
Kejernihan Lion Corner dengan ragam terumbu karang yang sehat dan sea fan atau kipas laut yang berwarna-warni membuat kami tak sabar memasuki tempat penyelaman berikutnya.
Sanggraloka Sang Habib Eropa
Kami kembali melaju di atas kendaraan beroda empat. Setelah melewati sebuah jembatan, mobil berbelok memasuki jalan sempit. Lapisan aspal berganti dengan jalan berbatu yang diapit oleh pepohonan nan rindang. Suasana pantai yang panas perlahan berganti dengan suasana lembah yang menyejukkan. Tak lama, terdengar suara riak air sungai di kejauhan. Melewati sebuah pagar sederhana, akhirnya kami tiba di Bogani Homestay. Sebuah rumah kayu dua lantai berdiri tak jauh dari sungai. Inilah rumah yang akan menjadi tempat penginapan kami di Bolsel.
Sanggraloka ini terletak tidak jauh dari titik-titik penyelaman yang akan kami kunjungi. Hanya menghabiskan waktu 15 hingga 20 menit perjalanan dengan mobil. Ini tentu lebih menghemat waktu dibandingkan dengan hotel melati yang ada di pusat kota Molibagu, yang memakan waktu satu jam berkendara.
Bogani Homestay dikelola oleh Klaus, yang biasa dipanggil dengan sebutan Habib Neven. Ia adalah seorang pengembara dari Jerman yang sudah menetap dan menjadi warga negara Indonesia. Sanggraloka ini menyediakan sarapan khas yang wajib dicoba, yaitu roti chapati. Sarapan terasa mewah dengan tersajinya buah segar seperti pepaya, nanas, dan pisang, yang dipetik langsung dari kebun. Kami melepas lelah di pondok sederhana dengan latar suara riak air.
Tawa di “Spot Ayub”
Cahaya keemasan perlahan hilang ditelan malam. Menyelam di malam hari selalu memberikan sensasi yang berbeda. Dengan diterangi sinar rembulan serta cahaya senter di dalam genggaman, kelamnya lautan memang menciptakan suasana mendebarkan. Titik penyelaman yang kami pilih tidak jauh dari pantai, berjarak sekira 25 meter. Lokasi ini kami beri nama Depan Kampung, karena letaknya tak jauh dari kampung nelayan di Soputa. Satu per satu diver menyalakan senter, dan menuju kekelaman laut di kedalaman 15 hingga 18 meter.
Kala malam, jenis ikan yang kami jumpai berbeda dengan siang hari. Di penghujung penyusuran, seekor penyu besar sempat kami jumpai. Terkejut melihat sinar senter kami, sang penyu bergerak menjauh, menghilang di kegelapan.
Setelah 30 menit, penyelaman malam kami pun berakhir. Perahu kuning ini kembali bergerak membawa penumpangnya menuju ke tepian pantai. Beberapa penyelam masih menyalakan senter guna merapikan peralatan, termasuk salah seorang penyelam, Ayub, yang berasal dari Bolsel Diving Club.