Ajakan 'Stop Baca Berita COVID-19' Justru Mengancam Keselamatan Publik

By Utomo Priyambodo, Minggu, 18 Juli 2021 | 18:13 WIB
Pemakaman yang dilakukan oleh relawan MCCC kepada jenazah pasien Covid-19 pada 27 Juni 2021. (MDMC)

Ada kesamaan pesan agar masyarakat tidak membaca, mengikuti informasi dan berita tentang Covid-19 di media, karena dianggap bisa menganggu imun. Belum diketahui siapa yang menjadi otak di balik penyebaran poster digital dan teks tertulis tersebut. Namun temuan jurnalis di beberapa kota, pesan ini awalnya justru disebarkan oleh pejabat dan aparat setempat.

AJI menilai hal ini merupakan bagian dari propaganda keliru yang justru bisa membahayakan keselamatan publik. Hal ini karena ajakan tersebut disampaikan di saat wabah COVID-19 sedang terjadi meluas di Indonesia dan banyak warga sudah kesulitan mendapatkan layanan fasilitas kesehatan yang tak mampu menampung lonjakan jumlah pasien. 

AJI juga menyebut ajakan ini bisa menyebabkan masyarakat terjebak pada rasa aman palsu (toxic positivity), yang justru akan membuat mereka abai dengan protokol kesehatan. "Informasi yang akurat mengenai skala penularan dan dampak dari pandemi ini justru dibutuhkan warga untuk membangun kesiapsiagaan," tegas AJI dalam keterangan tertulisnya. 

Baca Juga: WHO Kritik Keras Pemerintah Indonesia soal Vaksin COVID-19 Berbayar

Ilustrasi tabung oksigen untuk pasien Covid-19 (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Tindakan publik mengunggah berita itu juga bagian hak kebebasan berekspresi yang telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Pasal 28F. Isi pasal tersebut adalah "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."

Menyikapi hal tersebut, AJI Indonesia menyatakan mengecam penyebaran seruan tidak membaca, mengunggah, dan membagikan berita tentang Covid-19 karena dapat membahayakan keselamatan publik. Seruan ini berpotensi membuat publik tidak mendapatkan informasi yang tepat. Padahal informasi tersebut dibutuhkan untuk membuat keputusan yang tepat dalam menentukan tindakan agar dapat selamat dalam situasi pandemi COVID-19 yang semakin mengganas.

Baca Juga: Alarm Bahaya dari Tenaga Kesehatan: 'Ini Sudah Functional Collapse'

 

"Seruan ini merupakan bentuk pelecehan terhadap jurnalis dan karya jurnalistik karena dinilai sebagai penyebab turunnya imun seseorang dalam situasi pandemi," kata AJI.Jurnalis profesional dalam bekerja selalu mematuhi Kode Etik Jurnalistik. Kendati demikian, masyarakat yang merasa dirugikan pemberitaan dapat meminta hak jawab dan hak koreksi, serta melapor ke Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pers.

AJI juga melihat seruan ini sengaja dipropagandakan untuk membungkam upaya kritis media dalam memberitakan fakta-fakta mengenai pandemi dan penanganannya di Indonesia. Karena itu, pemerintah, terutama Kementerian Komunikasi dan Informatika, perlu meluruskan salah kaprah mengenai seruan ini.

AJI juga meminta Dewan Pers segera menyikapi serangan-serangan terhadap jurnalis dan pers nasional dalam pandemi COVID-19 yang semakin masif dan mengancam kebebasan pers. Awal bulan lalu (5/7), kepolisian Indonesia atau Humas Polda Bengkulu juga memberikan stempel hoaks terhadap berita 63 pasien meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) DR. Sardjito Yogyakarta, akibat kelangkaan oksigen. 

"Stempel hoaks atau informasi bohong terhadap berita yang terkonfirmasi, merusak kepercayaan masyarakat terhadap jurnalisme profesional, yang telah menyusun informasi secara benar sesuai Kode Etik Jurnalistik," tegas AJI. Oleh karena itu, "Dewan Pers perlu berkoordinasi secepatnya dengan aparat penegak hukum untuk menghentikan kekerasan terhadap jurnalis yang mengancam kebebasan pers dan membahayakan keselamatan publik."