Pada waktu VOC dibubarkan (1799), kekuatan gedung Koepel Kerk sudah parah. Dengan dana terbatas, bagian-bagian yang rusak hendak diperbaiki, namun Gubernur Jenderal Deandels memerintahkan menjual gereja itu supaya dapat dibongkar (1808). Nisan-nisan besar dari keluarga terkemuka sebagian dijual dan sebagian dipindahkan ke Kerkhoflaan.
Batu-batu nisan diambil dari ruang tengah gereja, terdapat 48 nisan dan 24 nisan lagi dalam gang. Sampai kini beberapa nisan tersebut masih dapat dilihat di halaman, sedangkan isan lain dimasukkan ke dalam tembok luar dengan tanda HK, yang berarti Hollands Kerk. Pada tahun 1829, tanah bekas gereja ini dijual oleh pemerintah dengan syarat tidak boleh menggali tanah selain untuk meletakkan fondasi tembok gedung baru.
Baca Juga: Saatnya Gulungan Arsip VOC Ungkap Losmen Lampu Merah di Batavia
Kebon Jahe Kober berkembang menjadi makam yang prestisius, di mana banyak dimakamkan orang-orang terkenal, baik pejabat penting, pelaku sejarah, hingga selebritis di masanya. Olivia Marianne Rafles (1814), istri Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles, Dr. H.F. Roll (1867-1935), pencetus gagasan dan pendiri Stovia, Dr. J.L.A. Brandes (1857-1905), ahli sejarah purbakala Hindu Jawa di Indonesia, Miss Riboet atau yang sohor dengan julukan MissTjitjih (1900-1965), tokoh panggung sandiwara rakyat legendaris. Selain itu juga dipergunakan untuk memakamkan orang-orang yang dipersamakan dengan Belanda. Hal ini terus berlangsung hingga 1945.
Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan pemakaman ditangani oleh Yayasan Verburg (1945-1947) di bawah Pemerintahan Gemeente Batavia. Namun karena situasi pemerintahan peralihan pada awal kemerdekaan, maka pengelolaannya diserahkan kepada Yayasan Palang Hitam milik keluarga J.M. Panggabean selama 1947-1967.
Baca Juga: Kesaksian Prajurit Mataram Juluki Batavia Sebagai 'Kota Tahi'
Sejak 1967, pengelolaan makam dialihkan ke Pemerintah Daerah DKI Jakarta yang dilaksanakan oleh Dinas Pemakaman DKI Jakarta (1967-1975). Untuk menjaga dan memelihara kesinambungan sejarah Indonesia pada umumnya dan sejarah Jakarta khususnya, maka pada tahun 1975 tempat ini dinyatakan tertutup untuk pemakaman. Namun prasasti nisan ataupun berupa bangunan makam, tidak diperbolehkan dipindahkan.
Jumlah prasasti nisan yang terpilih saat itu berjumlah kurang lebih 1.200 buah, sedang jumlah makam yang tercatat terurus sebelum pembongkaran kurang lebih 4600 buah. Prasasti-prasasti yang berbentuk datar umumnya ditempelkan pada dinding tembok sisi Selatan, Utara dan sebagian sisi Timur. Sedang prasasti-prasasti yang berbentuk tugu/patung ditempatkan pada areal taman yang terbagi atas sebelas kavling dan diselingi oleh berbagai jenis pohon pelindung.
Baca Juga: Sebuah Kado Sial di Hari Ulang Tahun Dipanagara
Pada masa 1975-1977, sejak penutupan sebagai area kuburan, lahan dibiarkan terlantar. Beruntung pemerintah daerah saat itu masih melihat potensi lahan pemakaman ini, sehingga berkesimpulan untuk dipugar, ditata-ulang, dan dikembangkan menjadi Museum. Penataan dan pemilihan kembai koleksi prasasti batu nisan makam-makam yang memiliki nilai sejarah penting pun dilakukan. Namun, luas lahan pemakaman mengalami penyempitan, mulai dari 5,5 hektar menjadi 1,3 hektar.
Selanjutnya Kebon Jahe Kober untuk pertama kalinya dipugar, dan diresmikan menjadi “Museum Taman Prasasti”, pada tanggal 9 Juli 1977 oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, H. Ali Sadikin dan selanjutnya dikelola Dinas Museum dan Sejarah (kini Dinas Kebudayaan dan Permuseuman) Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Baca Juga: Perjalanan Panjang Nisan VOC: Kapten Tack dan Keluarga Mertuanya
Menurut sejarawan Kota Jakarta, Adolf Heuken, Kebon Jahe Kober merupakan taman pemakaman umum modern tertua yang masih tersisa di Jakarta. Bahkan, salah satu yang tertua di dunia. Lebih tua dari Fort Canning (1926) di Singapura, Gore Hill Cemetery (1868) di Sydney, La Chaise Cemetery (1803) di Paris, Mount Auburn Cemetery (1831) di Cambridge, Massachusetts (yang diklaim sebagai taman makam modern pertama di dunia), atau Arlington National Cemetery (1864) di Washington DC yang menjadi ikon visual lanskap sejarah Amerika Serikat.
Atina Winaya, ahli arkeologi dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mengungkapkan dalam laporan penelitiannya tentang permakaman tinggalan kolonial ini. Menurutnya, permakaman tua di sebuah kota merupakan data arkeologi yang sungguh penting, sama pentingnya dengan situs permukiman atau situs keagamaan.
"Situs pemakaman, khususnya yang berasal dari masa kolonial, kerapkali dianggap sebagai tempat yang sepi dan menyeramkan," demikian Atina melaporkan. "Padahal, secara tidak disadari, tempat tersebut menyimpan berbagai macam informasi menarik mengenai komposisi penduduk suatu kota di masa lampau."
Baca Juga: Bincang Redaksi: 280 Tahun Geger Pacinan, Singkap Arsip VOC dan Persekutuan Cina-Jawa 1740-1743