WHO Desak Indonesia Terapkan 'Lockdown' yang Lebih Ketat dan Luas

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 24 Juli 2021 | 12:00 WIB
Senja di Jalan Braga, setahun silam. Kini, WHO mendesak pemerintah Indonesia untuk menerapkan 'lockdown' yang Lebih ketat dan luas. Desakan ini muncul karena pemerintah Indonesia justru mempertimbangkan melonggarkan pembatasan sosial di saat jumah kasus COVID-19 sedang tinggi. (Didi Kaspi Kasim)

Nationalgeographic.co.id—Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mendesak pemerintah Indonesia untuk menerapkan pembatasan sosial atau penguncian (lockdown) yang lebih ketat dan lebih luas untuk memerangi lonjakan infeksi dan kematian COVID-19. Desakan ini muncuk pada Kamis, 22 Juli 2021, hanya beberapa hari setelah Presiden Jokowi menyampaikan sedang mempertimbangkan untuk melonggarkan pembatasan sosial yang kali ini dinamakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dan baru berlaku di wilayah Jawa dan Bali. 

Indonesia telah menjadi salah satu episentrum pandemi global dalam beberapa pekan terakhir, dengan kasus positif COVID-19 melonjak lima kali lipat dalam lima minggu terakhir. Pada Jumat, 23 Juli 2021, jumlah kematian harian akibat COVID-19 di Indonesia mencapai rekor tertinggi dan menjadi negara dengan kasus kematian harian terbanyak di dunia.

Jumlah kasus kematian akibat COVID-19 di Indonesia pada Jumat adalah 1.556 orang dalam sehari. Ini artinya, tiap kurang dari semenit ada warga di Indonesia yang meninggal karena COVID-19.

Dalam laporan situasi terbarunya, WHO mengatakan penerapan ketat protokol kesehatan masyarakat dan pembatasan sosial sangat penting untuk diberlakukan di Indonesia. Mereka juga menyerukan perlunya "tindakan mendesak" tambahan untuk mengatasi peningkatan tajam infeksi COVID-19 di 13 dari 34 provinsi di Indonesia.

“Indonesia saat ini menghadapi tingkat penularan yang sangat tinggi, dan ini menunjukkan pentingnya penerapan protokol kesehatan masyarakat dan tindakan sosial yang ketat, terutama pembatasan pergerakan, di seluruh negeri,” tulis WHO dalam laporan tersebut.

Pada hari Selasa lalu, Presiden Jokowi justru memberi sinyal akan menerapkan pelonggaran pembatasan mulai minggu depan. Ia mengutip data resmi yang menunjukkan penurunan kasus infeksi COVID-19 dalam beberapa hari terakhir, yang menurut para ahli epidemiologi telah didorong oleh penurunan tingkat tes dan pelacakan COVID-19 yang makin rendah.

"Jika tren kasus terus menurun, maka pada 26 Juli 2021, pemerintah akan mencabut pembatasan secara bertahap," kata Jokowi seperti diberitakan Reuters.

Tingkat positif harian (daily positivity rate) Indonesia, proporsi orang yang dites yang terinfeksi, rata-rata 30% selama seminggu terakhir. Tingkat di atas 20% berarti penularan "sangat tinggi", kata WHO.

Baca Juga: Bagaimana Krisis Oksigen di Gelombang Kedua Pagebluk Bisa Terjadi?

Pemakaman salah satu jenazah pasien COVID-19 di Indonesia. (MDMC)

Semua provinsi di Indonesia, kecuali satu provinsi, memiliki tingkat positif di atas 20%. Yang di bawah 20% hanya Aceh, yakni sebesar 19%, kata WHO.

Menteri Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan, yang memimpin PPKM di Indonesia, mengatakan pelonggaran pembatasan dapat terjadi di daerah-daerah di mana tingkat penularannya telah turun, kapasitas rumah sakit telah meningkat, dan adanya "kondisi sosiologis" warga yang menuntut hal tersebut.

Kelompok pengusaha telah memperingatkan PHK massal kecuali PPKM dilonggarkan minggu depan. Di antara langkah-langkah lain, mereka ingin semua para staf operasional mereka diizinkan bekerja di kantor dan pabrik yang bergerak di sektor-sektor industri yang kritikal dan esensial.

Penanganan wabah COVID-19 oleh pemerintah Indonesia mendapat banyak kritikan dari warga dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Di awal pandemi para pejabat pemerintah Indonesia tampak menyepelekan kasus COVID-19 dan kini justru terlihat kewalahan.

Baca Juga: Pelonggaran PPKM Darurat Perlu Mengkaji Banyak Aspek, Kepatuhan Masyarakat Punya Peran Penting

Kondisi di Indonesia saat angka kasus dan kematian COVID-19 sedang melonjak tinggi. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Salah satu aspek yang kini disorot, jumlah tes harian COVID-19 di Indonesia tidaklah konsisten, masih naik-turun, dan maksimal baru mencapai 200 ribuan tes per hari. Sebagai perbandingan, India mampu melakukan lebih dari 2 juta tes per hari di saat kasus COVID-19 di negara tersebut sedang melonjak.

Hal lainnya yang disorot adalah terkait mekanisme pemberlakuan pembatasan sosial yang tidak tegas dan tidak solutif bagi warga Indonesia, terutama warga kelas bawah. Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, misalnya, mengaku heran karena pemerintah Indonesia tidak menggunakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan untuk menjalankan kewajiban dalam penanganan pandemi Covid-19.

Menurut dia, pemerintah terkesan menghindari kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar warga. Hal ini terlihat dari berbagai istilah kebijakan pembatasan yang diterapkan pemerintah, seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan kini pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

Padahal, dalam UU 6 Tahun 2018 diatur soal karantina wilayah ketika terjadi kedaruratan kesehatan. Dalam UU itu pula disebutkan bahwa selama karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang ada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

"Jadi ketika pembatasan, pemerintah gunakan yang lain dan jelas itu maksudnya untuk mengakali hukum agar kewajiban yang ada di UU 6/2018 tidak dipenuhi pemerintah dan tidak diberikan kepada masyarakat," ucap Asfinawati, seperti diberitakan Kompas.com.

Baca Juga: Setiap 12 Detik Seorang Anak Kehilangan Orang Tua Akibat COVID-19