Nationalgeographic.co.id—Virus SARS-CoV-2 menginfeksi lewat hidung dan tenggorokan, atau nasofaring. Sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa respons pertama saat virus itu menginfeksi, peneliti bisa menentukan seberapa parah dampaknya. Mereka dapat menentukan siapa yang akan mengalami sakit parah dan siapa yang akan bertahan dengan penyakit ringan atau tidak bergejala sama sekali. Hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan di Jurnal Cell pada 22 Juli 2021.
Tim kolaborator di Boston Children's Hospital, MIT and the University of Mississippi Medical Center secara komprehensif telah memetakan infeksi SARS-CoV-2 di nasofaring. Tujuannya. untuk mendapatkan gambaran rinci tetang apa yang terjadi di nasofaring.
"Mengapa beberapa orang menjadi lebih sakit daripada yang lain telah menjadi salah satu aspek yang paling membingungkan dari virus ini sejak awal," kata Jose Ordovas-Montanes., PhD, dari Boston Children's seperti dilansir Boston Children's Hospital Newsroom.
Banyak penelitian, katanya lagi, mencari prektor risiko dengan meneliti darah sebelumnya. "Tetapi darah mungkin bukan tempat yang tepat untuk diteliti," katanya.
Para peneliti kemudian memperoleh sampel dari usap hidung 35 orang dewasa dengan Covid-19 dari April hingga September 2020, mulai dari gejala ringan hingga sakit kritis. Mereka juga mendapatkan sampel dari 17 subjek kontrol dan enam pasien yang diintubasi tetapi tidak memiliki Covid-19.
Dari penelitian tersebut, tim membandingkan usapan nasofaring dari orang-orang dengan tingkat keparahan penyakit Covid-19 yang berbeda. Pada orang dengan Covid-19 ringan atau sedang, sel epitel menunjukkan peningkatan aktivasi gen yang terlibat dengan respons antivirus. Terutama gen yang dirangsang oleh interferon tipe I, yaitu protein alami yang diproduksi tubuh sebagai respon tubuh terhadap virus.
Pada orang yang mengembangkan Covid-19 parah, yang bahkan membutuhkan bantuan oksigen, respons melawan virusnya sangat tumpul. Secara khusus, sel-sel epitelnya memiliki respons yang diredam terhadap interferon, meskipun terdapat sejumlah virus di sana.
Baca Juga: Dokter Reisa Broto Asmoro: Anak di Indonesia Hadapi Situasi Sulit Selama Pandemi
Pada saat yang sama, hasil usap hidung mereka menunjukan jumlah makrofag yang tinggi dan sel kekebalan lainnya yang meningkatkan respon inflamasi. "Setiap orang dengan Covid-19 yang parah memiliki respon interferon yang tumpul sejak dini di sel epitel mereka dan tidak pernah mampu meningkatkan pertahanan," kata Ordovas-Montanes..
Menurutnya, memiliki jumlah interferon yang tepat pada waktu yang tepat dapat menjadi inti dari penanganan SARS-CoV-2 dan virus lainnya.
Bagaimana Penelitian Dilakukan?
Dari yang sampel yang telah dikumpulkan, para peneliti mengurutkan RNA di setiap sel, satu sel untuk setiap waktu. Untuk mengetahui semua pekerjaan yang diperlukan, setiap usap hidung pasien menghasilkan rata-rata 562 sel. Data RNA memungkinkan tim untuk menentukan dengan tepat sel mana yang ada, yang mengandung RNA yang berasal dari virus, yang menjadi indikasi infeksi, dan gen mana yang dihidupkan dan dimatikan oleh sel sebagai respons.
Sel-sel epitel yang melapisi hidung dan tenggorokan mengalami perubahan besar dengan adanya SARS-CoV-2. Terjadi peningkatan sel sekretori dan goblet penghasil mukus (lendir). Pada saat yang sama, hilangnya sel-sel bersilia yang matang, yang berfungsi menyaring kotoran yang masuk ke rongga hidung.
Baca Juga: WHO Desak Indonesia Terapkan 'Lockdown' yang Lebih Ketat dan Luas
Pada saat yang sama, terjadi peningkatan sel-sel bersilia yang belum matang yang mungkin mencoba mengkompensasi hilangnya sel bersilia yang matang. Tim menemukan RNA SARS-CoV-2 dalam beragam jenis sel, termasuk sel bersilia yang belum matang dan subtipe spesifik sel sekretori, sel goblet, dan sel skuamosa atau sel yang melapisi sinus.
Sel-sel yang terinfeksi, dibandingkan dengan sel-sel yang tidak terinfeksi, memiliki lebih banyak gen yang diaktifkan yang terlibat dalam respons produktif terhadap infeksi. Hal itu merupakan respon imun awal terhadap infeksi.
Sebagai langkah selanjutnya, para peneliti berencana untuk menyelidiki apa yang menyebabkan respons interferon yang diredam di nasofaring. yang menurut bukti juga dapat terjadi dengan varian baru SARS-CoV-2. "Pertanyaannya adalah, Bagaimana Anda membuat sel-sel ini lebih responsif?" kata Ordovas-Montanes.
Baca Juga: Setiap 12 Detik Seorang Anak Kehilangan Orang Tua Akibat COVID-19