Kehadiran Budaya Panji di Atas Puncak Watak Kesenian Tari Topeng

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 27 Juli 2021 | 15:32 WIB
Aerli Rasinah bersama topeng Panji yang merupakan tujuan dari pertunjukkan. Baginya Aerli, menarikan Panji butuh latihan ulet karena membutuhkan konsentrasi tinggi, agar bisa membawakan karakter yang tenang seperti filosofi Panji. (Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah)

 

"Selain itu, untuk mempelajari tari topeng Panji itu tidak mudah, karena diawali dengan proses kecil-kecil (menuju Panji). Itu, di Panji ada (proses yang disebut) Mageung Nafas, atau mengendalikan diri," terang Aerli.

"Banyak yang mementaskan tapi tidak ada isinya," terangnya, menambahkan betapa pentingnya proses itu. Tetapi dia juga menambahkan bagi yang henadk belajar untuk sekadar tarian kesenian, proses ritual itu bisa dilewati, dan Mageung Nafas juga hanya dimiliki dalang.

Sekilas, gerakan tari topeng Panji terlihat paling gampang dipentas, karena gerakannya yang cenderung tenang. Meski demikian, di situlah letak kesulitannya, karena filosofi Panji yang tenang, gerakannya itu harus bertolak belakang dengan alunan musik yang menggebu-gebu.

Hingga saat ini, kesenian tari topeng cukup disukai anak muda untuk dipelajari dan dipentaskan. Namun, dari segi tradisi untuk topeng Indramayu, hal yang sulit adalah mewarisi dalang atau ikon regenerasi selanjutnya.

Baca Juga: Kelana Budaya Panji yang Melintasi Bentuk, Tempat, dan Waktu

Ki Pono Wiguno sedang membuat topeng tokoh Prabu Klono di kediamannya di Desa Diru Bantul, Yogyakarta. Dia seniman yang membuat topeng lakon khas Panji sejak 1971. Berawal dari kesenangannya mengikuti kakeknya bernama Ki Warso Waskito, keahlian membuat topeng diwariskan kepada Pono. Misinya begitu b (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Untuk topeng Indramayu, pewarisan topeng ini dilakukan secara turun temurun dalam keluarga Rasinah, yang dapat dilihat dari tanda-tanda magis calon pewaris. Aerli berperan menjadi dalang, lantaran diwarisi oleh neneknya, Mimi Rasinah.

Aerli menyebut, dia sudah melihat tanda itu pada keponakan dan cucunya sejak mereka belia. Tetapi dia enggan menyampaikan siapa calonnya dan memaksakannya, karena belum tentu anak itu ingin mengikuti tradisi.

"Karena setiap orang punya kehendak untuk hidup. Jika ingin membuatnya tertarik harus pelan-pelan. Beda masa, tentu beda metode," Aerli menjelaskan. "Mereka punya hak dan cita-cita. Tandai itu hanya jadi bidikan."

Kondisi itu pelestarian itu berbeda dengan yang dialami tari topeng gaya Losari. Endang yang kerap berjejaring dengan komunitas tari topeng lainnya mengisahkan nasib Nani Sawitri, dalang gaya Losari. Ancaman tari topeng di sana terusik oleh kalangan penganut agama Islam garis keras.

Baca Juga: Jejak Kelana Hikayat Romansa Panji Menantang Zaman Hingga ke Eropa

Banyak dari kalangan muda untuk belajar tari topeng, seperti latihan menggunakan kedok Pamindo. Tantangan terberat Aerli adalah mencari sosok ikon regenerasi selanjutnya. (Aerli Rasinah)

 

"Padahal tari topeng itu media penyebaran agama Islam. Keadaan Nani itu, orang-orang sekitar tidak menerima karena anggapan musyrik, ya tidak hanya tari topeng saja, tetapi juga wayang." papar Endang.

"Kesenian itu dianggap [ajaran] Hindu, padahal nilai-nilainya melebur untuk kearifan lokal karena bersumber dari Cirebon."

Solusi untuk melestarikan tari topeng bagi Endang, adalah pendidikan karakter dan kebudayaan sejak dini dan sekolah. Guru dan kepala dinas harus menjaga kebudayaannya masing-masing, terutama tari topeng lewat UU tentang Pemajuian Kebudayaan tahun 2017.

"Bisa bertahan, tinggal peran guru-guru dan orangtua yang melestarikan, dan memilih mana yang lokal tapi nilainya bisa mengglobal," Endang berpendapat. "Banyak tari-tarian kita yang diambil nilai-nilainya oleh orang lain."

Ia mengambil contoh pada kelompok orkestra gamelan yang belakangan mulai populer di Amerika Serikat.

"Masak di Amerika grupnya bisa lebih 500 grup? Mereka lebih menghargai orkes kita yang terdengar tenang—yang justru tidak menggambarkan nilai-nilai barat," pungkasnya.

Baca Juga: Di Balik Cerita Cinta dalam Tradisi Panji yang Selalu Berakhir Bahagia