Kehadiran Budaya Panji di Atas Puncak Watak Kesenian Tari Topeng

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 27 Juli 2021 | 15:32 WIB
Aerli Rasinah bersama topeng Panji yang merupakan tujuan dari pertunjukkan. Baginya Aerli, menarikan Panji butuh latihan ulet karena membutuhkan konsentrasi tinggi, agar bisa membawakan karakter yang tenang seperti filosofi Panji. (Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah)

Nationalgeographic.co.id—Tidak hanya dikemas dalam cerita, kesenian topeng memunculkan Panji lewat tarian dalam kelompok yang terdiri dari wayang, dan enam orang penari yang diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan empat orang.

Tari topeng selalu identik dengan kesenian yang berasal dari Cirebon, yang menggunakan penutup muka yang disebut sebagai kedok. Kegunaannya adalah menyamarkan identitas asli penggunanya. Selain itu, ada nilai luhur yang dicitrakan kedok untuk disampaikan pada penonton dalam tariannya.

Secara historis, menurut Yayan Nurhidayah dari IAIN Syekh Nurjati, Cirebon, menyebut tari topeng ini sebenarnya sudah ada sejak era Hindu-Buddha di Jawa Barat. Sejak dulu, tarian ini bertujuan untuk menyampaikan pesan keagamaan.

 

 

Makalahnya yang berjudul Kesenian Tari Topeng sebagai Media Dakwah di Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies (2017), fungsi ini kemudian digunakan pula oleh Sultan Cirebon Syarif Hidayatullah dan Sunan Kalijaga untuk penyebaran agama Islam. Penggunaan ini juga dilatarbelakangi pudarnya kebudayaan tersebut, seriingnya para raja di Pulau Jawa mualaf.

Sehingga dakwah dengan medium topeng bertujuan kepada masyarakat, melalui kebudayaan yang selama ini mereka kenal. Hingga saat ini pun ada banyak ragam gaya tari topeng yang berunsur Panji, dan karakternya diadopsi dari kebudayaan Jawa.

Seniman dari Institut Seni Budaya Indonesia Endang Caturwati menerangkan, bahwa macam gaya ini terjadi karena penyebaran yang dibawa dan dikembangkan murid-murid Sunan Kalijaga dan Gunung Jati. Perkembangan gaya itu antara lain mengiukuti daerah tempat penyebarannya seperti Slangit, Kroya, Beber, Indramayu, Gegesik, Majalengka, dan Losari.

"Tapi kalau tari topeng Cirebon menjadi karakter dari perkembangan manusia atau siklusnya yang mulai dari topeng amarah sampai menuju ke Panji," tutur Endang.

Lima topeng karakter yang disebut sebagai siklus itu adalah, Klana, Tumenggung, Rumyang, Samba/Pamindo, dan Panji. Susunan itu merupakan gambaran dari watak yang paling serakah yang digambarkan oleh Klana, hingga watak yang tenang dan lembut oleh Panji.

Baca Juga: Budaya Panji di Tatar Sunda, Meresap Ranah Islam dan Filosofis

Tari topeng mimi rasinah di Indramayu. (Dok. Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah)

Kelima topeng itu juga bisa digunakan untuk pentas lelakon, ujar Endang. Misal, penggunaan Klana untung menggambarkan tokoh Rahwana dalam Mahabarata.

"Inilah yang membedakan budaya Panji di Jawa Barat dengan daerah Jawa lainnya," Endang berpendapat. "Ia hanya mengambil karakter yang digambarkan lewat topeng sebagai perjalanan siklus sifat manusia. Berbeda dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menjadi nama sosok."

Tari topeng bukan sekedar alat kesenian saja. Terdapat ritual yang harus dijalankan bagi seorang dalang yang akan menarikan topeng, terutama Panji.

Dalam tari topeng Indaramayu misalnya, dalang tari topeng generasi ke-11 Aerli Rasinah harus melewati rangkaian kegiatan ritual, termasuk berpuasa. Ia berujar, tujuannya agar nilai spiritualitas dapat disajikan ke penonton, dan memberikan nilai positif.

Untuk menjalakan ritual juga harus memiliki niat ikhlas untuk mendalami topeng dan mengadakan perjanjian pada diri sendiri, Tuhan, dan penonton, agar tampil dengan hati yang suci.

 

"Selain itu, untuk mempelajari tari topeng Panji itu tidak mudah, karena diawali dengan proses kecil-kecil (menuju Panji). Itu, di Panji ada (proses yang disebut) Mageung Nafas, atau mengendalikan diri," terang Aerli.

"Banyak yang mementaskan tapi tidak ada isinya," terangnya, menambahkan betapa pentingnya proses itu. Tetapi dia juga menambahkan bagi yang henadk belajar untuk sekadar tarian kesenian, proses ritual itu bisa dilewati, dan Mageung Nafas juga hanya dimiliki dalang.

Sekilas, gerakan tari topeng Panji terlihat paling gampang dipentas, karena gerakannya yang cenderung tenang. Meski demikian, di situlah letak kesulitannya, karena filosofi Panji yang tenang, gerakannya itu harus bertolak belakang dengan alunan musik yang menggebu-gebu.

Hingga saat ini, kesenian tari topeng cukup disukai anak muda untuk dipelajari dan dipentaskan. Namun, dari segi tradisi untuk topeng Indramayu, hal yang sulit adalah mewarisi dalang atau ikon regenerasi selanjutnya.

Baca Juga: Kelana Budaya Panji yang Melintasi Bentuk, Tempat, dan Waktu

Ki Pono Wiguno sedang membuat topeng tokoh Prabu Klono di kediamannya di Desa Diru Bantul, Yogyakarta. Dia seniman yang membuat topeng lakon khas Panji sejak 1971. Berawal dari kesenangannya mengikuti kakeknya bernama Ki Warso Waskito, keahlian membuat topeng diwariskan kepada Pono. Misinya begitu b (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Untuk topeng Indramayu, pewarisan topeng ini dilakukan secara turun temurun dalam keluarga Rasinah, yang dapat dilihat dari tanda-tanda magis calon pewaris. Aerli berperan menjadi dalang, lantaran diwarisi oleh neneknya, Mimi Rasinah.

Aerli menyebut, dia sudah melihat tanda itu pada keponakan dan cucunya sejak mereka belia. Tetapi dia enggan menyampaikan siapa calonnya dan memaksakannya, karena belum tentu anak itu ingin mengikuti tradisi.

"Karena setiap orang punya kehendak untuk hidup. Jika ingin membuatnya tertarik harus pelan-pelan. Beda masa, tentu beda metode," Aerli menjelaskan. "Mereka punya hak dan cita-cita. Tandai itu hanya jadi bidikan."

Kondisi itu pelestarian itu berbeda dengan yang dialami tari topeng gaya Losari. Endang yang kerap berjejaring dengan komunitas tari topeng lainnya mengisahkan nasib Nani Sawitri, dalang gaya Losari. Ancaman tari topeng di sana terusik oleh kalangan penganut agama Islam garis keras.

Baca Juga: Jejak Kelana Hikayat Romansa Panji Menantang Zaman Hingga ke Eropa

Banyak dari kalangan muda untuk belajar tari topeng, seperti latihan menggunakan kedok Pamindo. Tantangan terberat Aerli adalah mencari sosok ikon regenerasi selanjutnya. (Aerli Rasinah)

 

"Padahal tari topeng itu media penyebaran agama Islam. Keadaan Nani itu, orang-orang sekitar tidak menerima karena anggapan musyrik, ya tidak hanya tari topeng saja, tetapi juga wayang." papar Endang.

"Kesenian itu dianggap [ajaran] Hindu, padahal nilai-nilainya melebur untuk kearifan lokal karena bersumber dari Cirebon."

Solusi untuk melestarikan tari topeng bagi Endang, adalah pendidikan karakter dan kebudayaan sejak dini dan sekolah. Guru dan kepala dinas harus menjaga kebudayaannya masing-masing, terutama tari topeng lewat UU tentang Pemajuian Kebudayaan tahun 2017.

"Bisa bertahan, tinggal peran guru-guru dan orangtua yang melestarikan, dan memilih mana yang lokal tapi nilainya bisa mengglobal," Endang berpendapat. "Banyak tari-tarian kita yang diambil nilai-nilainya oleh orang lain."

Ia mengambil contoh pada kelompok orkestra gamelan yang belakangan mulai populer di Amerika Serikat.

"Masak di Amerika grupnya bisa lebih 500 grup? Mereka lebih menghargai orkes kita yang terdengar tenang—yang justru tidak menggambarkan nilai-nilai barat," pungkasnya.

Baca Juga: Di Balik Cerita Cinta dalam Tradisi Panji yang Selalu Berakhir Bahagia