Kontroversi Kebenaran Naskah Wangsakerta: Bukan Buatan Abad Ke-17?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 28 Juli 2021 | 19:00 WIB
Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, atau Naskah Wangsakerta, memiliki acuan yang masih kontroversi terkait sejarah di masa lalu terkait asal-usul peradaban di Nusantara hingga skala global. (Perpustakaan Tanah Impian)

 

Meski demikian wakil VOC yang bernama Caeff tersebut melaporkan ketidakbenaran atas berita itu, lewat catatan 21 Desember 1677. Selain itu, Pangeran Wangsakerta masihlah belum jelas kedudukan resminya di Cirebon.

Terkait naskah itu, sejarawan Saleh Danasasmita dalam buku Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta (2017) menulis, para anggota ahli sejarah ini turun ke lapangan untuk mengumpulkan catatan naskah--termasuk Pararaton dan Negarakertagama, dan tulisan prasasti di Nusantara.

Banyak sejarawan modern menganggap apa yang dilakukan Wangsakerta dan panitianya itu, merupakan tindakan yang terlalu pintar untuk manusia dari 300 tahun yang lalu. Akibatnya, terdapat beberapa kejanggalan mengenai kebenaran dokumen ini.

Arkeolog Universitas Indonesia Boechari menulis di buku yang sama, mengamati karya naskah-naskah yang dihasiklkan panitia Wangsakerta seperti Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara dan Negarakertabhumi.

Dia melihat bahwa tulisan dalam naskah itu, walau memakai aksara Jawa kuno sebagaimana huruf yang umum di abad ke-17, tetapi sejatinya tulisan itu meniru penulisan aksara kuno dengan gagal. 

"Ia [naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara] hanya meniru bentuk-bentuk hurup lama itu, tetapi jauh dari berhasil. Mestinya analisa atas tintanya dapat memperlihatkan kapan naskah yang ada sekarang ini ditulis," tulis Boechari.

Kontradiksi sejarah

Jika naskah ini bukan dibuat dari masa itu, Boechari yakin, bahwa sejatinya Panitia Wangsakerta tidak pernah ada, dan naskah ini bisa jadi dibuat pada 1960-an. Hal itu dapat ditunjukkan dari naskah-naskah yang ditemukan pada 1970-an ini, tidak memuat informasi tambahan terkait temuan sejarawan pada dekade berikutnya (1980-an hingga sekarang).

"Di dalam naskah-naskah itu selalu kita jumpai istilah Jawa Kulwan, Jawa Madya, dan Jawa Wetan. Menurut konteksnya memang yang dimaksud dengan istilah itu ialah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serta bukan negaragama atau pusat-pusat kepercayaan (Islam) di Jawa," ungkap Boechari.

Baca Juga: Surawisesa Beri Portugis Sunda Kelapa, Pajajaran Dihajar Demak-Cirebon

Bangsal Panembahan Keraton Kasepuhan Cirebon. (Midori/Wikimedia)

"Siapa pun tahu bahwa pembagian adminsitratif seperti di atas belum ada dalam abad ke-17."

"Mengenai isinya memang harus diakui bahwa banyak bagian yang sesuai dengan sumber-sumber sejarah yang lain, seperti kerangan prasasti-prasasti, hasil susastra, seperti  NegarakertagamaPararatonCarita Parahyangan, dan lain-lain, berita-berita Cina, dan lain-lain," Boechari menerangkan.

"Tetapi ada juga bagian-bagian yang tidak sesuai dengan tafsiran saya atas beberapa sumber sejarah yang asli, dan yang tidak ditemukan sumbernya yang lain yang dipakai untuk menyesuaikannya, seperti sebagian terbesar sejarah Jawa Barat [...]," lanjutnya.

Misal, jelas-jelas di dalam Prasasti Yupa menyebut Aswawarman adalah putra dari Kudungga, raja Kutai. Tetapi naskah itu justru menyebut Aswawarman adalah putra dari Dewawarman VIII dari Salakanagara, yang kemudian menjadi menantu Kudungga.

Sebelumnya mendiang Ayatrohaedi menulis terkait Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara dengan prasasti Tugu di Bogor.

Baca Juga: Teka-Teki Salakanagara, Kerajaan Nusantara Tertua Versi Wangsakerta

Naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara yang sudah diterjemahkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung tahun 1987. (Wikimedia Commons)

Dalam bukunya, Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon (2005), menganggap kata "rajadhiraja" adalah nama orang yang punya kekuasaan di Tarumanagara—bukan gelar untuk Purnawarman (raja Tarumanagara)--jika naskah itu benar.

Sebaliknya, Boechari bersikeras bahwa kata "rajadhiraja" harus dibaca kata berikutnya: "guru", dan kata-kata berikutnya yang bisa dipahami sebagai julukan milik Purnawarman.

Ada pun dalam naskah yang sama, menyebut kisah Sriwijaya tentang Sanjaya dan Panangkaran.

Yang menarik, bagi Boechari, para penulis naskah sudah tahu bahwa Panagnkaran bernama lengkap Sri Maharaja Tejahpurnnapanna Panangkarana, mirip dengan yang diungkap  dalam disertasi arkeologi J.G de Casparis tahun 1950.

Padahal sebelumnya, nama itu dibaca sebagai Sri Maharaja Dyah Pancapanna Panangkarana oleh F.D.K Bosch (1887-1967).

Masih banyak dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara yang janggal, dan hal serupa juga terjadi pada Negarakertabhumi. Boechari menyebut, kedua naskah itu justru sangat mengikuti teori sejarah Nusantara menurut J.G de Casparis, daripada melingkupi semua teori yang ada.

Baca Juga: Budaya Panji di Tatar Sunda, Meresap Ranah Islam dan Filosofis