Kontroversi Kebenaran Naskah Wangsakerta: Bukan Buatan Abad Ke-17?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 28 Juli 2021 | 19:00 WIB
Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, atau Naskah Wangsakerta, memiliki acuan yang masih kontroversi terkait sejarah di masa lalu terkait asal-usul peradaban di Nusantara hingga skala global. (Perpustakaan Tanah Impian)

 

Panitia Wangsakerta

Kemudian Boechari memandangi validitas akan musyawarah besar lintas daerah yang diselenggarakan di Keraton Cirebon, sebagaimana yang dijabarkan di Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara halaman 10.

"Pertama-tama dikatakan bahwa "panitia Wangsakerta" itu mengumpulkan utusan dari berbagai wilayah di Nusantara, dan masing-masing utusan datang dengan 70 orang," terang Boechari.

"Berapa orangkah yang waktu itu tinggal di Cirebon dan berapa lama? Mengapa "peristiwa besar" semacam itu luput dari perhatian VOC? Apakah tidak ada catatannya di dalam Dagregister?"

Mengenai Panitia Wangsakerta, Raden Pandji Soejono, profesor Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menanggapi naskah itu lewat esainya, Konsep Prasejarah Naskah Wangsekarta Mendahului Zaman.

Baca Juga: Telisik Sejarah Nusantara, Ketika Sunda dan Cina Saling Bercerita

Taman Sunyaragi di Kesultanan Cirebon, Jawa Barat. (Wilsen dalam )

Soejono berpendapat pengorganisiran yang dilakukan Wangsakerta terlalu rapih untuk zamannya. Mereka memiliki ketua, penulis, bendahara, hingga bagian dapur, penyedia kendaraan, serta pembagian pekerjaan.

Kemudian, dikatakan bahwa seluruh naskah itu telah disetujui oleh Kesultanan Banten dan Mataram. Semestinya, Boechari mempertanyakan apakah kedua kesultanan itu mendengarkan uraian tentang hasil naskah, atau memperoleh hasil jadi naskah Wangsakerta.

"Jika yang terakhir itu yang terjadi, kita dapat mengembangharapkan bahwa baik di Banten maupun di Solo/Yogya masih ada sisa-sisa naskah-naskah itu," tambahnya.

Manusia purba

Naskah yang dibuat oleh Panitia Wangsakerta itu juga menyebut asal-usul peradaban manusia, yang terlalu mengikuti arkeologi modern. Misalnya, Soejono menjelaskan, makhluk setengah manusia dan hewan (bahkan juga ditulis sebagai setengah kera) yang dijabarkan naskah itu mirip dengan temuan PithecanthropusHomo wadjakensisH. erectus.

Sesuai pula dengan kabar kepunahan seiring dengan datangnya orang-orang dari benua utara, dengan ciri-ciri yang persis dengan ras Mongoloid. Serta lokasi-lokasi kebiasaan manusia setengah manusia dan hewan ini cocok dengan tempat rekonstruksi penemuan fosil.

Naskah itu menyebutkan masing-masing jenis makhluk setengah manusia dan hewan dengan masa kehidupan dan perkiraan punahnya lewat kalender Saka. Sebagai tambahan, tahun satu kalender Saka, adalah tahun 79 Masehi.

Para penulis menyertakan tahun awal sekitar 1.000.000 tahun sebelum Saka (SS). Kemudian menyebutkan tahun kemunculan dan kepunahan pada 750.000SS, 600.000 SS, hingga 300.000 SS. Pertanggalan itu sesuai dengan hasil penelitian arkeologi modern.

Baca Juga: Temuan Fosil Stegodon trigonocephalus di Sumedang Siap Direkonstruksi

Situs arkeologi Sangiran yang mengungkap Pithecanthropus erectus tahun 1934 oleh Ralph von Koenigswald. Situs ini sesuai dengan tempat hidup manusia setengah hewan dalam Naskah Wangsakerta. (KITLV)

"Pertanggalan-pertanggalan seakurat ini tentang manusia purba adalah sesuai dengn hasil pertanggalan yang telah dilakukan melalui pertanggalan absolut/modern (antara lain tes Fluorine dan Potassium Argon) yang diperoleh kira-kira tahun 1960-an," papar Soejono.

Seiring dengan perkembangan penelitian arkeologi modern, para peneliti pasca 1960-an makin mengetahui berapa asal usia fosil. Soejono mengungkap, fosil yang ada di Indonesia bahkan mencapai angka yang lebih tinggi, sekitar 2 juta tahun yang lampau.

"Umur 1 juta tahun untuk satwa purusa ini cocok sekali dengan hasil pertanggalan modern tahun 1960-an,"

Dia menambahkan, naskah Wangsakerta terkait manusia purba ini telah mencapai dan terbatas pada kerangka dasar arkeologi dan sejarah kuno Indonesia yang dikembangkan pada abad ke-20, khususnya 1960-an.

"Karena itu, para penyusun naskah Wangsakerta ini bagi saya tidak meyakinkan," pungkasnya.

 Baca Juga: Cagar Alam Pananjung Pangandaran: Konservasi dan Situs Sejarah