Nationalgeographic.co.id—Saat ini ada lebih dari 820 juta orang di dunia yang kelaparan atau tidak memiliki cukup makanan. Perubahan iklim dan meningkatnya persaingan untuk mendapatkan tanah dan air semakin meningkatkan kekhawatiran tentang keseimbangan antara permintaan dan pasokan makanan di masa depan.
Data menunjukkan bahwa pasokan makanan memang telah meningkat secara dramatis sejak tahun 1960-an. Namun begitu, pertanyaan tentang bagaimana menghilangkan kelaparan global dan memberi makan populasi dunia yang terus bertambah di tahun-tahun mendatang, tetap menjadi tantangan utama. Meniadakan kelaparan telah menjadi salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals).
Sebuah studi baru yang dipimpin oleh International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA) mencoba untuk membandingkan proyeksi ketahanan pangan global. Studi ini juga mencoba memicu adanya analisis kebijakan dan debat publik tentang masa depan pangan.
Para ilmuwan biasanya menggunakan skenario dan proyeksi global terukur untuk menilai ketahanan pangan global jangka panjang di masa depan di bawah berbagai skenario sosial ekonomi dan perubahan iklim. Namun, karena perbedaan dalam desain model dan asumsi skenario, terdapat ketidakpastian tentang kisaran proyeksi dan hasil ketahanan pangan.
Untuk mengatasi ketidakpastian ini, peneliti tamu IIASA Michiel van Dijk dan rekan-rekannya melakukan tinjauan literatur sistematis dan meta-analisis untuk menilai kisaran proyeksi ketahanan pangan global di masa depan hingga 2050. Studi mereka ini berfokus pada dua indikator ketahanan pangan utama: permintaan pangan di masa depan dan jumlah populasi yang berisiko kelaparan. Populasi yang berisiko kelapan ini adalah indikator jumlah orang yang menghadapi kerawanan pangan kronis.
"Studi kami bertujuan untuk menentukan kisaran permintaan pangan global di masa depan dan proyeksi populasi yang berisiko kelaparan hingga 2050. Untuk menjawab pertanyaan ini, kami menganalisis 57 studi yang diterbitkan antara tahun 2000 dan 2018. Kami menyelaraskan semua proyeksi dan memetakannya ke dalam lima proyeksi yang sangat berbeda namun masuk akal secara sosial ekonomi di masa depan, termasuk skenario pembangunan yang berkelanjutan, bisnis seperti biasa, dunia yang terbagi, ketidaksetaraan, dan pembangunan konvensional," jelas van Dijk, seperti dilansir EurekAlert.
Baca Juga: Perubahan Iklim Mengancam Ketahanan Pangan Sektor Perikanan Indonesia
Temuan studi ini telah diterbitkan di jurnal Nature Food pada 21 Juli 2021. Temuan ini memberikan dukungan kuat untuk pandangan bahwa permintaan pangan akan meningkat antara 35 persen dan 56 persen selama periode 2010-2050. Peningkatan ini terutama karena pertumbuhan penduduk, pembangunan ekonomi, urbanisasi, dan faktor pendorong lainnya. Jika perubahan iklim diperhitungkan, kisarannya sedikit berubah, tetapi secara keseluruhan tidak ada perbedaan statistik yang signifikan.
Hasil studi ini tidak sedramatis kampanye kebutuhan untuk melipatgandakan produksi seperti yang biasa dinyatakan dalam banyak penelitian lain. Namun demikian, peningkatan permintaan pangan di masa depan mungkin tetap akan memiliki dampak negatif terhadap lingkungan dan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati.
Untuk mencegah dampak tersebut, peningkatan produksi pangan perlu disertai dengan kebijakan dan investasi yang mempromosikan intensifikasi berkelanjutan. Kita memerlukan kebijakan yang memasukkan prinsip ekologi dalam sistem dan praktik pertanian. Juga, pengurangan pemborosan pangan dan mendorong pergeseran ke arah menu makan yang lebih berbasis tanaman.
Dalam skenario paling pesimis, populasi yang berisiko kelaparan diperkirakan akan meningkat sebesar 8 persen selama periode 2010-2050. Bahkan, peningkatan ini bisa mencapai 30 persen bila dampak perubahan iklim dipertimbangkan. Hal ini menyiratkan bahwa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan untuk mengakhiri kelaparan dan mencapai ketahanan pangan tidak akan tercapai.
Baca Juga: Petani Alami Kesulitan Selama Pandemi, Ancaman Kelaparan Menghantui
Untuk mencegah hal ini, para peneliti mendesak para pembuat kebijakan untuk bekerja secara proaktif untuk mengembangkan langkah-langkah jangka panjang yang memadai. Salah satunya adalah dengan merangsang pertumbuhan inklusif.
"Studi kami dapat memicu debat publik tentang masa depan pangan dengan mengundang setiap warga negara untuk membayangkan dan mendiskusikan skenario masa depan pangan yang lebih luas, bukan hanya pilihan biner antara bisnis seperti biasa dan adopsi universal pertanian organik atau vegan," kata Yashar Saghai, seorang peneliti di University of Twente di Enschede, Belanda, yang turut menulis studi ini. "Untuk berpikir secara bertanggung jawab dan kreatif tentang masa depan, kita perlu membayangkan beberapa skenario yang masuk akal dan mengevaluasi konsekuensinya."
Meskipun penelitian ini tidak secara eksplisit menyelidiki dampak pandemi COVID-19, para peneliti mengatakan bahwa bahwa jangkauan studi ini secara masuk akal juga mencakup masa depan yang disebabkan oleh pandemi ini.
"Meskipun terlalu dini untuk mengawasi dan memahami dampak dan konsekuensi penuh dari pandemi virus corona, perkembangan saat ini menunjukkan beberapa kemiripan dengan skenario pola dasar paling negatif dalam analisis kami," ungkap van Dijk, "yang ditandai dengan perkembangan ekonomi yang lambat, fokus pada keamanan domestik dan kedaulatan nasional, dan peningkatan ketidaksetaraan."
Dia menambahkan, "Ini menyiratkan potensi peningkatan yang signifikan dalam jumlah penduduk yang berisiko kelaparan antara 2010 dan 2050 dalam kasus terburuk," pungkas van Dijk.
Baca Juga: Kontradiksi Pangan Organik: Benarkah Ditakdirkan untuk Orang Kaya