Memaknai Gelora Prajurit Perempuan Jawa Abad ke-18

By , Jumat, 22 Juni 2012 | 18:14 WIB
()

“Tiji Tibeh. Mati Siji Mati Kabeh. Mukti Siji Mukti Kabeh!―Mati Satu, Mati Semua. Jaya Satu, Jaya Semua! 

Sebanyak enam belas Prajurit Perempuan Mangkunagaran berbusana merah berbalut emas berbaris membusur di panggung pementasan “Matah Ati”. Lalu, mereka mengarahkan busur panah dan pistol ke semua penjuru. Sebuah perpaduan antara rona anggun-seksi-tegas terpancar jelas dari raut badan para prajurit itu.

Matah Ati digelar di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki pada 22-25 Juni 2012. Sejatinya ini adalah pagelaran ketiga setelah Singapura 2010 dan Jakarta 2011. Pagelaran seni tari ini terinspirasi oleh Langendriyan, sebuah pertunjukan opera ala Jawa, yang diciptakan oleh Mangkunagara IV, Surakarta.

Menurut Atilah Soeryadjaya―selaku penulis naskah, sutradara, dan perancang kostum―pagelaran ini diharapkan mengembalikan estetika Jawa berdimensi modern. Tujuannya, supaya masyarakat bisa melihat tradisi sebagai ruang masa lalu yang masih dikenali dan dipahami.

Matah Ati merupakan pagelaran tari yang didasarkan kisah nyata perjalanan pendiri Pura Mangkunagara, Raden Mas Said yang bergelar “Pangeran Samber Nyawa”. Usai bergerilya dan memberontak selama 16 tahun, berdasar Perjanjian Salatiga 1757 Said menjadi penguasa bergelar Kanjeng Gusti pangeran Adipati Arya Mangkunagara I.

Kisah yang berlatar keadaan Jawa abad ke-18 ini dimulai dengan menampilkan Rubiyah, seorang gadis dari desa Matah. Kelak Rubiyah ini kagum atas keberanian Said melawan VOC sehingga di akhir cerita dia bersedia menikah dengan Said. Sebuah cinta dan kekaguman atas jiwa Raden Mas Said.

Rubiyah atau Matah Ati (berdiri dengan membawa busur panah) sebagai pemimpin Korps Prajurit Perempuan Mangkunagara. Rubiyah menyerukan semangat bertempur dan kerelaan menghadapi kematian. (Hafidz Novalsyah/NG Traveler)

Karakter Rubiyah sebagai prajurit perempuan nan tangguh itu dibentuk oleh Said. Rubiyah pandai menari dan lembut sebagai istri, namun juga tegas sebagai pemimpin perang Korps Prajurit Perempuan. yang dikenal sangat sigap dalam segala strategi bertempur. Setelah Perjanjian Salatiga, Rubiyah menjadi istri Mangkunagara I, bergelar Bandoro Raden Ayu Matah Ati. Nama “Matah Ati” diberikan karena Rubiyah lahir di Desa Matah, yang bisa juga bermakna “Melayani Hati Sang Pangeran”.

“Bangsa kita maju kalau kita bangga dengan negeri sendiri,” ungkap Jay Subyakto penata artistik Matah Ati. Betapa tidak, karena menurut pendapatnya penggerusan kebudayaan dan kesenian di Indonesia sedang mencapai kepunahannya. Bagi Subyakto tantangan paling berat adalah bermain di negeri sendiri. Sejatinya, kekhawatirannya adalah pagelaran ini akan dipandang sebagai tradisi berbahasa Jawa―yang tak semua orang mengerti bahasa Jawa―dan membosankan. “Tapi siapa lagi yang mau memperkenalkan kebudayaan kita, selain kita sendiri,” ungkapnya. “Inilah yang tersisa di negeri ini.”

Dia juga yang merancang desain tata panggung dengan kemiringan 15 derajat. Inspirasi tata panggung itu datangnya dari perbukitan Selogiri, tempat pertempuran Raden Mas Said bersama Korps Prajurit Perempuannya melawan tentara-tentara VOC. Awalnya tata panggung yang tak lazim itu tidak disetujui karena menyulitkan para penari. Namun, Subyakto tetap memegang prinsipnya, “Tidak ada pertunjukan yang baik itu mudah pelaksanaannya.  Pasti ada susahnya. Pasti perjuangannya panjang!”

Kisah tentang siapa sejatinya Matah Ati dan Korps Prajurit Perempuan Mangkunagaran memang tidak banyak sumber yang menulisnya. Tampaknya melacak jejak perempuan jawa dalam linimasa sejarah Indonesia memang sulit karen sedikitnya sumber sejarah dibandingkan pria, termasuk sosok Matah Ati.

Sejarah kiprah wanita di Indonesia mengisahkan bahwa perempuan, khususnya di Jawa selalu tertindas dan dihalang-halangi untuk mempunyai pemikiran maju. Padahal abad-abad sebelumnya perempuan Jawa telah berperan bersama laki-laki memerangi ketidakadilan.

Ann Kumar, Guru Besar Centre for Asian Studies, Australian National University, pada 1980 pernah menelisik sebuah buku harian milik seorang prajurit perempuan Mangkunagara. Sang prajurit ini berkisah seputar kehidupan sebagai prajurit perempuan dan keadan politik istana Mangkunagara. Dia merampungkan kisah kehidupan itu pada 1791. Dalam catatan Kumar yang berjudul Javanese Court Society and Politics in the Late Eighteenth Century: The Record of Lady Soldier, dia mengungkapkan Prajurit perempuan Jawa tak hanya terlatih seperti geisha. Tetapi juga, terampil berkuda hingga menembak salvo dengan tata cara militer. Meskipun demikian, sesampainya di rumah prajurit perempuan melepaskan pakaian emas gaya laki-lakinya dan mengganti dengan pakaian wanita putih polos.

Namun, sejatinya korps prajurit perempuan bukanlah inovasi Mangkunegara I. Jauh sebelumnya di abad ke-17 Sultan Agung telah mempunyai para ajudan perempuan yang selalu mengawalnya. Sumber Belanda dari Rijklof van Goens dan Valentijn mencatat bahwa prajurit perempuan dipilih dari perempuan-perempuan tercantik.