Memaknai Gelora Prajurit Perempuan Jawa Abad ke-18

By , Jumat, 22 Juni 2012 | 18:14 WIB
()

Meski raja tidak pernah mengambil sebagi selir, mereka lebih beruntung dari selir. Mereka bangga karena suami mereka tak berani memperlakukan mereka dengan buruk, takut raja akan murka. Tak hanya itu, sumber Inggris dari Peter Mundy mencatat bahwa dia sempat melihat pengawal perempuan berjalan membawa senjata busur panah di Aceh.

Mungkin istana-istana lain punya prajurit perempuan, tetapi prajurit perempuan Mangkunagaran-lah yang terlatih dan diistimewakan dalam hirarki wanita istana, demikian menurut pendapat Kumar. Sayangnya, prajurit perempuan Mangkunagara yang menulis buku harian itu juga misterius. Prajurit perempuan ini tidak menyebutkan namanya.

Setidaknya, menurut Kumar, buku harian itu mengajak untuk menimbang kembali tentang pandangan kita tentang perempuan Indonesia. “Selama ini dunia Barat melihat perempuan Asia sebagai kaum yang dikekang...”, demikian tulis Kumar, “...Tapi para prajurit perempuan jelas tidak hidup dalam masyarakat seperti itu.”

Setelah menyaksikan pagelaran Matah Ati ini tampaknya penonton diajak memberikan makna baru kiprah perempuan Indonesia. Bahwa dari leluhurnya di abad ke-18 itu perempuan-perempuan telah mempunyai kedudukan terhormat dan mempunyai peran penting, bahkan sejajar dengan laki-laki.