Meski hanya seonggok batu, prasasti salimar zaman Hindu ini memiliki keistimewaan tersendiri bagi civitas akademik di SMA Kolese de Britto, Derah Istimewa Yogyakarta. Makna filosofi dalam batu tersebut justru berhasil menjadi tonggak pendidikan bebas yang diterapkan di SMA ini.
Salimar adalah tanah yang diberikan oleh Raja Mataram Kuno Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala kepada Sang Hakim dan Eksekutor Hukum Syariat Agama Sang Pamgat Balakas pada tahun 880 M. Tanah berupa hutan ini merupakan hadiah atas jasanya pada kerajaan.
Hutan Salimar ini adalah tanah istimewa. Wilayah-wilayah yang berada dalam kawasan ini bebas pajak dan sewa dari kerajaaan. Karena itulah, Salimar dikenal pula sebagai tanah perdikan. Sementara itu kawasan hutan Salimar sendiri diapit oleh dua desa yakni Desa Kandang dan Desa Pakuwani.
Untuk memberi tanda istimewa, maka Raja memberikan patok-patok di sekeliling hutan tersebut yang jumlahnya ada enam buah. Patok-patok inilah yang saat ini kita kenal sebagai Prasasti Salimar. Dalam patok tersebut terdapat pula nama-nama kepala dukuh dari desa yang dicap istimewa dengan menggunakan aksara Jawa kuno.
Menurut Ahli Epigrafi dari Pusat Arkeologi Nasional Titi Surti Nastiti, seharusnya ada delapan patok di wilayah ini. Dua desa yang mengapitnya, Kandang dan Pakuwani, memiliki masing-masing empat patok. Tapi hingga sekarang baru enam patok yang ditemukan.
Dalam perkembangannya, hutan Salimar berkembang menjadi permukiman penduduk. Konon kabarnya, hutan Salimar ini menjadi daerah Sleman, Yogyakarta.
Sementara itu, seiring perkembangan zaman, patok Salimar pun ikut terpendam oleh tumpukan-tumpukan tanah. Dua di antaranya yakni Salimar 4 dan Salimar 6 akhirnya berhasil ditemukan di kompleks SMA De Britto Yogyakarta.
Salimar 4 ditemukan pada 25 Desember 1957, Salimar 6 pada Juli 1988 ketika tukang gali bangunan membangun kompleks sekolah tersebut. Sejak ditemukan inilah, Salimar 4 dan 6 dibawa ke Balai Pelestarian Purbakala Peninggalan Purbakala Yogyakarta.
Mujiono Suisman atau kerap disapa Om Tong Jiet adalah pensiunan pustakawanan SMA Kolese Debritto yang memprakarsai diungkapnya isi dan pesan dari prasasti tersebut. Ternyata setelah ia mempelajari dari berbagai referensi serta wawancara berbagai ahli, ada kemiripan makna prasasti dengan pendidikan bebas yang diterapkan di SMA Kolese de Britto.
Bahkan menurutnya tak hanya relevan dengan dengan pendidikan bebas De Britto, namun makna prasasti ini juga berkaitan dengan kondisi Indonesia saat ini. Segala problem yang terjadi dalam bangsa ini, katanya, bisa terpecahkan dengan leadership dari pemimpin negara. Seperti dalam cerita Salimar tersebut, Raja Mataram Kuno sangat bijaksana dan arif dalam mengatasi persoalan bangsa.
“Tidak hanya warga De Britto yang memiliki Salimar, melainkan seluruh rakyat Indonesia. Prasasti ini memiliki banyak filosofi yang bisa menjadi solusi persoalan saat ini,” katanya, Jumat (31/8).
Isi mengenai pemerintahan yang baik juga diamini oleh Titi dari Pusat Arkeologi Nasional. "Kalau tidak ada pemerintahan yang sudah teratur, kemungkinan tidak ada wilayah bebas pajak. Atau mengenai biaya pendirian bangunan suci yang berasal dari desa-desa yang ada."
Kaitannya dengan pendidikan bebas, Koordinator Produksi Replika Andhika Permana Putra yang juga alumni dari SMA tersebut mengatakan, pendidikan bebas yang dimaksudkan bukan mengarah pada pendidikan anarki. Melainkan sistem yang bebas dari peraturan yang perlu untuk kehidupan masyarakat.