"Penelitian kecil ini didasari atas asumsi pertama, yakni suatu teks ditulis untuk mencatat apa yang pernah terjadi dan apa yang pernah ada dalam masyarakat, dengan cerita Panji sebagai objek penelitian, dan bahwa cerita Panji merupakan representasi laku bagi orang Jawa dalam mencapai kasampurnan," tulisnya.
Secara ringkas, kisah Panji Angreni bermula dari rencana perkaiwanan Panji Inu Kertapati dengan Angreni. Akan tetapi, ayah Panji (raja Jenggala) malah membunuh Angreni karena dianggap penghalang perkawinan yang seharusnya untuk Candrakirana, putri Kediri.
Baca Juga: Kehadiran Budaya Panji di Atas Puncak Watak Kesenian Tari Topeng
Panji Inu Kertapati mendapati mayat Angreni di Muara Kamal. Dia pun mengembara dengan para kadean (pengikut) dan menyamar menjadi Klana Jayengsari. Suatu ketika, raja Kediri meminta pertolongan kepadanya untuk menghadapi raja-raja sewu negara yang hendak menyerang Kediri.
Singkatnya, Klana Jayengsari mendapatkan Candrakirana setelah membantu Kediri. Dia menyadari bahwa Candrakirana sebenarnya adalah Angreni dengan jiwa yang sama.
Baca Juga: Cinta Sejati dan Berharga Panji Kudawaningpati Bersama Dewi Angreni
Karsono mengutip pendapat budayawan Jawa Poerbatjaraka bahwa sastra Panji Angreni adalah kisah yang identik dengan semangat kejawaan yang merebak pada masa akhir Majapahit.
Di sisi lain, ia menulis, Panji Inu Kertapati atau Klana Jayengsari sebenarnya adalah representasi dari Atman—percikan kecil dari Brahman yang berada di setiap makhluk hidup dalam konsep Hindu—sebagai objek.
Batara Narada, tokoh dalam kisah itu, berpendapat bahwa pengembaraan Panji mencari Angreni kelak akan menitis pada Ngrenaswara, adik raja Nusakancana.
Baca Juga: Kelana Budaya Panji yang Melintasi Bentuk, Tempat, dan Waktu