Bagaimana Panji Angreni Menggambarkan Watak Orang Jawa Semestinya?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 11 Agustus 2021 | 14:00 WIB
Wayang topeng yang mengisahkan Panji Inu Kertapati bersama Dewi Angreni, menjadi gambaran watak ideal orang Jawa. (Setyo Adhi Pamungkas)

Nationalgeographic.co.id - Setiap karya sastra, baik kontemporer maupun tradisional, terpengaruh dengan situasi sosial yang ada. Kita bisa melihatnya dari film, musik, novel, hingga cerpen yang terasa relevan dengan kehidupan kita.

Pada konteks tradisional pun demikian. Lewat budaya Panji sebagai cerita rakyat yang ditulis, ia merepresentasikan perilaku masyarakat, khususnya kebudayaan Jawa. Kisah itu adalah Panji Angreni yang merupakakan tradisi Gresik dan Keraton Surakarta.

Hal itu dipaparkan oleh dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Karsono H Saputra, lewat analisisnya Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa (2010) dalam Jurnal Manuskrip Nusantara.

 

"Penelitian kecil ini didasari atas asumsi pertama, yakni suatu teks ditulis untuk mencatat apa yang pernah terjadi dan apa yang pernah ada dalam masyarakat, dengan cerita Panji sebagai objek penelitian, dan bahwa cerita Panji merupakan representasi laku bagi orang Jawa dalam mencapai kasampurnan," tulisnya.

Secara ringkas, kisah Panji Angreni bermula dari rencana perkaiwanan Panji Inu Kertapati dengan Angreni. Akan tetapi, ayah Panji (raja Jenggala) malah membunuh Angreni karena dianggap penghalang perkawinan yang seharusnya untuk Candrakirana, putri Kediri.

Baca Juga: Kehadiran Budaya Panji di Atas Puncak Watak Kesenian Tari Topeng

Naskah cerita Panji berjudul Panji Ngron Akung yang memiliki bentuk simbol cinta seperti yang kita kenal saat ini. Naskah ini berasal dari Gresik pada 1823. (Leiden University)

Panji Inu Kertapati mendapati mayat Angreni di Muara Kamal. Dia pun mengembara dengan para kadean (pengikut) dan menyamar menjadi Klana Jayengsari. Suatu ketika, raja Kediri meminta pertolongan kepadanya untuk menghadapi raja-raja sewu negara yang hendak menyerang Kediri.

Singkatnya, Klana Jayengsari mendapatkan Candrakirana setelah membantu Kediri. Dia menyadari bahwa Candrakirana sebenarnya adalah Angreni dengan jiwa yang sama.

Baca Juga: Cinta Sejati dan Berharga Panji Kudawaningpati Bersama Dewi Angreni

Panji Inu Kertapati bersama Candrakirana (Kemdikbud)

Karsono mengutip pendapat budayawan Jawa Poerbatjaraka bahwa sastra Panji Angreni adalah kisah yang identik dengan semangat kejawaan yang merebak pada masa akhir Majapahit.

Di sisi lain, ia menulis, Panji Inu Kertapati atau Klana Jayengsari sebenarnya adalah representasi dari Atman—percikan kecil dari Brahman yang berada di setiap makhluk hidup dalam konsep Hindu—sebagai objek.

Batara Narada, tokoh dalam kisah itu, berpendapat bahwa pengembaraan Panji mencari Angreni kelak akan menitis pada Ngrenaswara, adik raja Nusakancana.

Baca Juga: Kelana Budaya Panji yang Melintasi Bentuk, Tempat, dan Waktu

"Perjalanan Panji Inu Kertapati (Klana Jayangsari) yang semula ingin mencari kematian karena diilhami oleh kisah raja Anglingdarma ternyata merupakan kisah peperangan dan pertempuran untuk menaklukkan musuh-musuhnya," terang Karsono.

Dia melanjutkan bahwa Candrakirana dalam kisah ini adalah simbol yang mewakili objek Brahman dalam tujuan akhir pengembaraan Panji Inu Kertapati. Dia maupun Angreni juga gambaran kebahagiaan abadi. Maka, usaha pengembaraan Panji adalah upaya dewa menyatukan keduanya.

Berhubung Panji sebagai tokoh dalam kesusastraan 'asli' rakyat Jawa, Karsono menganggap bahwa sosok ini adalah citra ideal bagi kebudayaan yang membangunnya.

Baca Juga: Kelana Budaya Panji yang Melintasi Bentuk, Tempat, dan Waktu

Lukisan Bali yang menggambarkan Pangeran Panji bertemu tiga perempuan di hutan. (Koleksi Tropenmuseum)

"Bahwa pengembaraan Panji Inu Kertpati sebagai respresentasi laku tentulah harus dirunut secara tekstual pula," tulis Karsono dalam makalahnya.

"Panji dan para kadean beralih rupa dan berganti nama: Panji Inu Kertapati berganti nama menjadi Klana Jayengsari," ungkapnya. "Tindakan Brajanata, suruhan raja Jenggala (ayah Panji), membunuh Angreni" menjadikan Panji Inu Kertapati sadar atas perjalanan kehidupannya.

Lewat laku, Panji Inu Kertapati mencari dan menggapai kebahagiaan abadi. Dia harus melakukan berbagai nilai kebudayaan Jawa seperti: sesirihnenepi, dan tarak brata yang secara simbolik dipaparkan dalam kisah itu.

Sesirih sebagai perilaku nilai adalah penerapan bagaimana Panji Inu Kertapati mengendalikan diri untuk tidak melakukan hubungan badan oleh perempuan-perempuan yang sebetulnya sudah diyakini sebagai Angreni.

Sedangkan nenepi (mengasingkan diri untuk merenung) dan tarak brata (bersemedi atau bertapa) adalah perilaku yang terang-terangan tertulis dalam kisah yang harus dicontoh orang Jawa yang ideal.

Baca Juga: Jejak Kelana Hikayat Romansa Panji Menantang Zaman Hingga ke Eropa