Paling utama, habitat peteluran telah ditumbuhi rumput. “Itu mengganggu, karena sulit digali maleo. Rumput itu merambat tumpang tindih,” paparnya. Irham mengusulkan untuk membersihkan rumput di bekas pantai peteluran. “Luasnya sekitar empat hektare, hanya tersisa empat kali empat meter,” imbuhnya.
Pengelolaan habitat bertelur ini mendesak, apalagi Oktober sampai Januari, maleo Bakiriang memasuki musim bertelur. Selama inventarisasi, Irham baru menemukan dua pasang maleo yang turun bertelur. Dia menuturkan pada era 1980-an, maleo yang bertelur ratusan ekor. Selama tiga puluh tahun populasinya turun drastis. “Kalau turunnya hanya puluhan masih wajar.”
Sebelum bertelur, maleo beraktivitas di hutan pantai yang sebagian besar sudah terganggu. Hutan pantai ini berfungsi sebagai tempat istirahat maleo, setelah melewati jalan raya dan perkampungan.
Dengan menggandeng banyak pihak, kerja konservasi maleo akan terasa ringan dan memberi kesadaran bagi masyarakat. Syihabudin menegaskan kolaborasi harus diintesifkan, saling memberi kontribusi timbal-balik. “Celaka kita, kalau maleo punah tanpa ada manfaatnya.”
Lantaran hanya hidup di Sulawesi, sekali punah maleo akan hilang selamanya. Tentu saja, segala ikhtiar dikerahkan untuk mengerem surutnya populasi maleo di Bakiriang.