Kendala dalam satu bidang menjadi nilai tambah di bidang lain. Hal itu tertera dalam salah satu berkas presentasi hasil ekspedisi Kapuas-Mahakam 1994 oleh Kompas Gramedia yang disampaikan di Bentara Budaya Jakarta pada awal November tahun yang sama.
Tepatnya, kalimat itu berbunyi, ”Kondisi yang terkadang merupakan kendala bagi pengembangan wisata konvensional justru merupakan nilai tambah dalam pengembangan ekowisata di pedalaman Kalimantan, misalnya dalam akomodasi dan transportasi.” Demikian bunyi laporan Wisetyo Nurdwianto dari Mapala UI, anggota ekspedisi bagian penjajakan ekowisata.
Sebuah seminar ekowisata di Jakarta pada 1999 juga menekankan hal senada. Contoh: wisatawan dari negara-negara maju bersedia merogoh kocek dalam-dalam untuk pergi ke Rwanda di Afrika yang faktor keamanannya dipertanyakan. Mereka tak berkeberatan berjalan kaki berkilo-kilometer menembus hutan. Tujuannya? Melihat gorila. Jenis wisata semacam ini menjadi salah satu penghasil devisa penting bagi Rwanda dan banyak negara Afrika lainnya.
Pada 1990-an itu tren wisata global telah menampilkan wajah baru, menyambung arus gerakan kembali ke alam (back to nature) di barat beberapa dekade silam. Bepergian dengan fasilitas serba nyaman bukan lagi hal utama yang dicari. Daripada pergi melihat simbol modernitas, wisatawan dari negara maju cenderung memilih tempat-tempat terpencil dan eksotis yang sulit dijangkau, tempat segala sesuatunya lebih alami dan murni. Nuansa petualangan kian diburu.
Indonesia memiliki potensi ekowisata begitu besar. Modal dasarnya adalah keindahan alam, keanekaragaman budaya, serta kekayaan biodiversitas. Sayang, hampir dua puluh tahun sejak konsep ini didorong oleh sejumlah pihak termasuk Indecon (Indonesia Ecotourism Network), pekerjaan rumah masih terlihat banyak. Ekowisata tidak melulu terkait dengan infrastruktur fisik seperti jalan mulus, penginapan dilengkapi pengatur suhu udara, atau gerbang nan megah. Selama ini, hal-hal itu yang diutamakan. Padahal ada beberapa faktor lain yang lebih penting.
Kesiapan masyarakat
Dalam pengembangan ekowisata, faktor utamanya adalah kesiapan masyarakat. Hal tersebut menjadi perhatian dalam penjajakan potensi ekowisata oleh Kompakh (Komunitas Pariwisata Kapuas Hulu) bersama WWF-Indonesia ke Desa Nanga Raun, Kecamatan Kalis, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, pada November lalu.
“Ekowisata hendaknya mendukung pelestarian alam, budaya, dan nilai-nilai lokal,” ujar Hermas Maring dari Kompakh. Namun, imbuhnya, hal pertama yang perlu dipastikan adalah daya terima masyarakat terhadap kedatangan wisatawan. Pada sebagian kecil komunitas terutama di pedalaman, daya terima ini masih menjadi pekerjaan rumah.
Tantangan semacam itu terlihat di ruang serbaguna Desa Nanga Raun saat pertemuan antara tim penjajakan ekowisata dengan puluhan anggota masyarakat. Salah seorang warga berkali-kali mempertanyakan apakah ada maksud lain di balik pertemuan.
“Apakah terkait dengan rencana pembukaan tambang atau taman nasional?” tanyanya dengan nada tinggi. Bagi sebagian masyarakat di pedalaman, akibat minimnya sosialisasi, istilah “taman nasional” menjadi semacam momok yang dikhawatirkan membatasi ruang gerak kehidupan sehari-hari. Seorang warga lain bertanya, “Setelah pertemuan ini, dalam berapa tahun lagi kami akan memetik hasilnya?
Kepala Dusun Tilung, Desa Nanga Raun, Petrus Leo, mengungkapkan ada anggota masyarakat yang telanjur mendengar cerita-cerita negatif terkait kedatangan pihak luar. Daniel Mikael Rajang, mantan tumenggung komunitas etnis Orung Da’an—etnis mayoritas di Nanga Raun—mengiyakan. Menurut Rajang, “Sebagian mendengar tentang perkebunan sawit yang menghilangkan hutan.” Tokoh masyarakat lainnya yakni Marsius Apendi ikut urun pendapat. “Pola pikir masyarakat yang harus dibenahi. Bahwa proses itu penting dan tidak ada hasil baik secara instan,” ucap Marsius.
Untuk penjajakan ekowisata, Kompakh menempuh beberapa tahapan: pengumpulan informasi, perkenalan kepada tokoh dan pemuka adat, lalu penjelasan kepada masyarakat. Setelah itu masyarakat diminta mengisi kuesioner. Keesokan harinya digelarlah diskusi. Masyarakat dibagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok diskusi yang membahas topik-topik secara khusus seperti adat dan tradisi, kuliner, situs-situs potensial, fasilitas yang sudah tersedia, dan sebagainya.
“Kami hanya menginisiasi dan memfasilitasi karena konsepnya adalah wisata berbasis masyarakat,” jelas Hermas, pria asal komunitas Dayak Taman yang juga tercatat sebagai staf WWF-Indonesia kantor Putussibau. “Masyarakat harus menjadi pelaku dan penerima manfaat.”