Hubertus van Mook dan Garis Demarkasinya di Indonesia Tahun 1948

By Galih Pranata, Minggu, 15 Agustus 2021 | 15:00 WIB
Hubertus van Mook, penggagas Republik Federal (RIS) yang namanya digunakan sebagai garis status quo atau garis demarkasi van Mook. (Wikimedia)

Nationalgeographic.co.id—Hubertus Johannes van Mook atau dikenal Huib van Mook adalah seorang jenderal Hindia-Belanda yang menjabat sejak tahun 1942-1948. Ia juga dikenal sebagai peneliti yang banyak menulis karya, seperti kisah tentang Pulau Jawa, Kota Gede Yogyakarta, dan sejumlah karya lain yang mengangkat cerita lokal di masyarakat. Ia memiliki minat dalam menulis banyak karya tentang Nusantara dan elemen di dalamnya. Maklum, ia memang dilahirkan di tanah Jawa, tepatnya di Semarang pada 30 Mei 1894.

Christopher Bayly dan Tim Harper dalam bukunya yang berjudul Forgotten Wars: Freedom and Revolution in Southeast Asia terbitan tahun 2007, menceritakan kondisi yang terjadi saat Jepang mulai menguasai Indonesia pada 1942. "Pada saat Jepang mulai menduduki Indonesia pada 1942, van Mook diangkat sebagai Gubernur Jenderal oleh pemerintah Hindia-Belanda di pengasingan dekat dengan Brisbane, Australia," tulisnya.

Lahir di Jawa dan mencintai Pulau Jawa, kembalinya van Mook dari pengasingan ke Indonesia pada 1 Oktober 1945, tidak disambut dengan baik oleh bangsa Indonesia. Ia datang dengan pasukan Belanda dan sekutu yang membuat geram masyarakat yang melihat kedatangannya. Masyarakat pada saat itu tengah dalam suasana kemerdekaan, sehingga tak menginginkan kehadiran van Mook kembali. 

Baca Juga: Kartu Pos Potret Kehidupan Jawa: Pesan Hindia Belanda ke Penjuru Dunia

"Ia (van Mook) tidak menawarkan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, melainkan untuk menawarkan Republik Federal (Republik Indonesia Serikat) dengan menjalin hubungan politik dan ekonomi yang kuat dengan Belanda," tulis George Kahin dalam bukunya berjudul Southeast Asia: A Testment terbitan tahun 2003. "Ia beralasan bahwa Indonesia tak cukup kuat secara politik dan ekonomi dalam menandingi orang-orang Tiongkok Indonesia, India Indonesia, dan Partai Komunis Indonesia yang sedang bangkit," tambahnya.

Disepakati suatu perjanjian yang diadakan di atas geladak kapal U.S. Warship Renville dimulai pada 17 Januari 1948. Melalui perjanjian Renville, secara taktis Belanda mampu menguasai beberapa wilayah di Indonesia, sekaligus menjadi tanda bagi berakhirnya Agresi Militer Belanda I.

Hasil dari Perjanjian Renville juga dianggap merugikan bangsa Indonesia. Perjanjian ini dianggap sebagai bagian terendah dalam kehidupan bangsa Indonesia. Kemerdekaan yang baru seumur jagung harus jatuh kembali ke pelukan Belanda. Salah satu hasil dari Perundingan Renville adalah disahkannya Garis Demarkasi van Mook, yang menjadi titik balik terpecah belahnya Republik Indonesia ke dalam wilayah yang lebih sempit. 

Baca Juga: Meramal 342 Musim Nusantara, Zona-zona Kesuksesan Pertanian Indonesia

Kondisi Indonesia pada 1 Desember 1948 yang terpecah oleh van Mook Line atau Garis van Mook. (Wikimedia)

Hubertus van Mook selaku Gubernur Jenderal di wilayah Hindia-Belanda memerintahkan gencatan senjata dan mengusung garis demarkasi atau pembuatan batas wilayah antara Indonesia dengan Belanda. Sebagai pencetus, garis demarkasi tersebut dinamakan van Mook Line atau Garis van Mook pada 1948. 

Garis demarkasi tersebut memisahkan kekuasaan Sukarno sebagai pemimpin republik ke dalam wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan sebagian Sumatra. Sebaliknya, wilayah lain menjadi negara di bawah otoritas Belanda dan Papua masih menjadi milik Belanda seutuhnya karena sumber alam yang masih terus dimanfaatkan.

"Saya pikir bahwa Belanda telah mengingkari PBB, dengan Renville mereka menguasai kembali wilayah Indonesia dimana masih ada kantor-kantor Nasional dan lembaga pendidikan yang masih beroperasi, harus patuh kepada pemerintahan Belanda," tulis Mohamad Roem dalam jurnalnya yang berjudul A Sad Story, in Spite of Its Happy Ending. A Review of Anak Agung's Book, terbit pada 1981.