Mengulik Fakta Sejati Gunung Padang

By , Rabu, 1 Mei 2013 | 13:52 WIB
()

Tim Terpadu Penelitian Mandiri  juga mengirimkan logam yang diklaim sebagai hasil pengerjaan manusia. “Namun, saya mengatakan ini oksida besi,” ujar Fadhlan yang menyampaikan pendapatnya dengan gaya jenaka dan kelakar. “Orang geologi tidak akan menyebut ini sebagai besi.”

Soal pernyataan Tim Terpadu Penelitian Mandiri tentang adanya ruangan di dalam Gunung Padang dari hasil pemindaian dengan geomagnetik dan geolistrik, Fadhlan menjelaskan bahwa sebenarnya itu bukan ruang, melainkan tanah lembab atau lempung.

“Mereka mengatakan warna biru itu adalah ruang,” ujarnya. “Ini tidak mungkin ruang. Jika dibor pasti akan ketemu lempung itu.” 

Penelitian yang dilakukan Lutfi dan timnya juga mencatat berbagai bentuk kerusakan di situs Gunung Padang. Kerusakan memang bisa disebabkan oleh alam, namun peran manusia—pengunjung dan masyarakat—juga sangat besar dalam proses perusakan itu.

Sebagai upaya pelestarian dia mengusulkan ditetapkannya tiga zonasi perlindungan. Zona Inti yang merupakan area pelindungan utama untuk menjaga bagian terpenting cagar budaya seluas 9.000 meter persegi. Zona Penyangga, suatu area yang melindungi zona inti seluas 129.000 meter persegi. Dan, Zona  Pengembangan, berfungsi melindungi lanskap alam dan budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan, rekreasi dan kepariwisataan seluas 153.800 meter persegi.

Lalu, berapakah usia sesungguhnya situs Gunung Padang ini?

Gunung Padang adalah Gunung api purba. Batuan kekar kolom merupakan hasil dari tenggorokan gunung api. Berdasar penelitian Lutfi lewat pertanggalan C-14 terhadap sisa material yang ditemukan di aliran sungai sisi barat Gunung Padang, bahwa pernah terjadi longsoran sekitar 5.300 tahun silam. Sementara budaya megalitik muncul dan berkembang pertama kali di Bumi sekitar 2500 - 1500 sebelum masehi.

Profesor Riset Truman Simanjuntak, arkeolog senior dari Pusat Arkeologi Nasional, mengatakan bahwa budaya megalitik memasuki kepulauan Indonesia sekitar awal Masehi. Menurut pendapatnya, situs punden berundak Gunung Padang tampaknya dibangun sekitar abad ke-6 atau ke-7, meskipun untuk mengetahui persisnya masih perlu pembuktian lewat analisis pertanggalan.

“Kalau melihat kemegahan Gunung Padang dengan balok-balok batu tentu itu menggambarkan masyarakat yang sudah maju,” ungkap Truman. “Kemajuan masyarakat seperti itu kelihatannya cenderung pada awal masehi karena tinggalan megah belum ada pada masa itu.”

Memang pernah ada wacana yang menyebutkan bahwa di bawah situs Gunung Padang terkubur satu tinggalan budaya berbentuk piramida berasal dari 4.700 – 10.900 Sebelum Masehi. Namun, menurut Lutfi, penelitian arkeologi situs punden berundak Gunung Padang tidak memiliki indikasi kuat pada wacana tersebut. “Itu sama saja seperti mencari Blackberry keluaran 1950-an.”Simak juga berita pertemuan para arkeolog, geolog, dan Tim Katastropik Purba setahun silam: Pusat Arkeologi Nasional: Tak Ada Piramida dan Peradaban Atlantis di Nusantara.