Mengulik Fakta Sejati Gunung Padang

By , Rabu, 1 Mei 2013 | 13:52 WIB
()

Lutfi Yondri, arkeolog dari Balai Arkeologi Bandung, memaparkan hasil penelitiannya di situs Gunung Padang dalam Diskusi Ilmiah “Rasionalitas Gunung Padang dan Piramida Atlantis” pada 26 April 2013 lalu. Diskusi ini diselenggarakan di kantor Pusat Arkeologi Nasional, Pejaten, Jakarta, dan dihadiri arkeolog dan geolog senior.

Dia dan timnya melakukan penelitian di situs megalitikum itu pada November 2012. “Kita melakukan penelitian, mencoba mendudukkan kembali Gunung Padang baik dari sisi penelitian maupun pelestarian yang selama ini berjalan parsial,” ujar Lutfi membuka pemaparannya.

Lutfi juga mencermati apa yang dilakukan Tim Terpadu Penelitian Mandiri Situs Gunung Padang Cianjur—sebelumnya bernama Tim Katastropik Purba—di bawah Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana. “Seolah situs itu merupakan temuan baru,” ungkap Lutfi. “Apapun yang mereka dapatkan di situs Gunung Padang langsung dipublikasikan.”

Selain isu kontroversial piramida Gunung Padang, menurut Lutfi, tim tersebut juga mengembuskan isu adanya emas tiga ton yang bersemayam di teras lima pada kedalaman 20 meter. Lutfi pun pernah ditawari untuk memimpin penggalian itu, namun dia menolak.

Sejatinya pada 1979 keberadaan situs itu telah diungkap kembali oleh warga setempat. Kemudian Pusat Arkeologi Nasional bersama Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Peninggalan Sejarah dan Purbakala telah melakukan kegiatan penelitian, penggambaran, dan pemetaan pada 1980-an.

Hasil penelitian arkeologi pada 2002 mengungkapkan bahwa punden berundak Gunung Padang pada masa lalu hanya difungsikan sebagai tempat pemujaan, bukan makam. Penelitian berikutnya pada 2003 memastikan bahwa balok-balok batuan Gunung Padang berasal dari Gunung Padang sendiri. 

Terdapat lima teras yang disusun di atas bukit bebatuan kekar kolom. Sumber batuan punden berundak Gunung Padang berasal dari situs itu sendiri. Penelitian Lutfi Yondri menunjukkan bahwa terdapat sepuluh pola susunan batu di situs tersebut (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Guru Besar Universitas Indonesia dan arkeolog senior Mundardjito yang turut hadir dalam diskusi ilmiah itu berpendapat, para pembangun punden berteras lima itu mengambil bebatuan dari situs itu juga kemudian menempatkan sesuai fungsinya di bangunan itu.

Artinya, pembuatannya tidak seperti Candi Borobudur yang mendapatkan sumber bebatuan dari tempat lain kemudian dipotong berbentuk persegi sesuai ukuran yang dibutuhkan. Jadi tidak benar, menurut Mundardjito, apabila ada pendapat bahwa si pembangun menumpuk dan menyusun batu-batu itu dari bawah sampai ke atas hingga menjulang setinggi seratus meter.“Batu (Gunung Padang) itu tidak dipotong-potong, tetapi diletakkan menurut fungsinya sendiri-sendiri.” Lalu Mundardjito melanjutkan, “Jadi hal terpenting, bagaimana mereka mengadaptasi sumber daya itu terhadap kebutuhan kultural mereka.”

Pernyataan itu didukung hasil temuan Lutfi pada November 2012, “Terdapat sepuluh pola susun balok-balok batu di Gunung Padang.” Dia juga mengungkapkan lapisan kerak lempung yang menutupi balok batu di punden berundak Gunung Padang.

Menurut Lutfi, dirinya telah berkonsultasi dengan beberapa ahli geologi senior tentang temuan kerak lempung tersebut. Budi Brahmantio, seorang dosen geologi terbaik Institut teknologi Bandung memberikan penjelasan kepadanya bahwa lapisan tersebut merupakan hasil dari pelapukan mengulit bawang atau spheroheidal weathering.

Sementara praktisi geologi Andang Bahtiar mengungkapkan kepada Lutfi bahwa lapisan kerak itu dengan sebutan paleosoil. Profesor Riset Sutikno Bronto menjelaskan, lapisan itu terjadi lantaran pelapukan batuan dalam waktu panjang dan juga didukung proses sedimentasi di antara sela balok-balok batu.

“Satu-satunya geolog senior yang mengatakan bahwa itu ‘semen purba’ adalah Danny Hilman,” ujar Lutfi. Danny Hilman Natawidjaja merupakan ahli geologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang turut menjadi peneliti dalam Tim Terpadu Penelitian Mandiri di bawah Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana.

Fadhlan S. Intan, ahli geologi dari Pusat Arkeologi Nasional, membenarkan bahwa beberapa hari lalu Tim Terpadu Penelitian Mandiri  mengirimkan temuan “semen purba” kepadanya. Namun, Fadhlan pun menolak menyebut materi itu sebagai “semen purba”. Dia sepakat dengan penjelasan dari Sutikno Bronto, bahwa materi itu merupakan bagian batu andesit yang mulai melapuk.

Tim Terpadu Penelitian Mandiri  juga mengirimkan logam yang diklaim sebagai hasil pengerjaan manusia. “Namun, saya mengatakan ini oksida besi,” ujar Fadhlan yang menyampaikan pendapatnya dengan gaya jenaka dan kelakar. “Orang geologi tidak akan menyebut ini sebagai besi.”

Soal pernyataan Tim Terpadu Penelitian Mandiri tentang adanya ruangan di dalam Gunung Padang dari hasil pemindaian dengan geomagnetik dan geolistrik, Fadhlan menjelaskan bahwa sebenarnya itu bukan ruang, melainkan tanah lembab atau lempung.

“Mereka mengatakan warna biru itu adalah ruang,” ujarnya. “Ini tidak mungkin ruang. Jika dibor pasti akan ketemu lempung itu.” 

Penelitian yang dilakukan Lutfi dan timnya juga mencatat berbagai bentuk kerusakan di situs Gunung Padang. Kerusakan memang bisa disebabkan oleh alam, namun peran manusia—pengunjung dan masyarakat—juga sangat besar dalam proses perusakan itu.

Sebagai upaya pelestarian dia mengusulkan ditetapkannya tiga zonasi perlindungan. Zona Inti yang merupakan area pelindungan utama untuk menjaga bagian terpenting cagar budaya seluas 9.000 meter persegi. Zona Penyangga, suatu area yang melindungi zona inti seluas 129.000 meter persegi. Dan, Zona  Pengembangan, berfungsi melindungi lanskap alam dan budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan, rekreasi dan kepariwisataan seluas 153.800 meter persegi.

Lalu, berapakah usia sesungguhnya situs Gunung Padang ini?

Gunung Padang adalah Gunung api purba. Batuan kekar kolom merupakan hasil dari tenggorokan gunung api. Berdasar penelitian Lutfi lewat pertanggalan C-14 terhadap sisa material yang ditemukan di aliran sungai sisi barat Gunung Padang, bahwa pernah terjadi longsoran sekitar 5.300 tahun silam. Sementara budaya megalitik muncul dan berkembang pertama kali di Bumi sekitar 2500 - 1500 sebelum masehi.

Profesor Riset Truman Simanjuntak, arkeolog senior dari Pusat Arkeologi Nasional, mengatakan bahwa budaya megalitik memasuki kepulauan Indonesia sekitar awal Masehi. Menurut pendapatnya, situs punden berundak Gunung Padang tampaknya dibangun sekitar abad ke-6 atau ke-7, meskipun untuk mengetahui persisnya masih perlu pembuktian lewat analisis pertanggalan.

“Kalau melihat kemegahan Gunung Padang dengan balok-balok batu tentu itu menggambarkan masyarakat yang sudah maju,” ungkap Truman. “Kemajuan masyarakat seperti itu kelihatannya cenderung pada awal masehi karena tinggalan megah belum ada pada masa itu.”

Memang pernah ada wacana yang menyebutkan bahwa di bawah situs Gunung Padang terkubur satu tinggalan budaya berbentuk piramida berasal dari 4.700 – 10.900 Sebelum Masehi. Namun, menurut Lutfi, penelitian arkeologi situs punden berundak Gunung Padang tidak memiliki indikasi kuat pada wacana tersebut. “Itu sama saja seperti mencari Blackberry keluaran 1950-an.”Simak juga berita pertemuan para arkeolog, geolog, dan Tim Katastropik Purba setahun silam: Pusat Arkeologi Nasional: Tak Ada Piramida dan Peradaban Atlantis di Nusantara.