Demi menyalurkan hobi fotografi alam, beberapa penggiat kegiatan alam bebas rela bertualang di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Medan yang berat dan cuaca yang kurang bersahabat menjadi tantangan yang harus dilalui. Ketabahan pun menjadi modal nomor satu.
Bagi Sugeng Hendratmo, petualangan menembus rimba Betung Kerihun bukanlah yang pertama kali. Pria usia empat puluhan ini telah menyambangi berbagai pelosok Kalimantan sejak masa sekolah dulu.
Pekerjaannya sebagai wirausahawan di bidang percetakan memungkinkan Sugeng menyalurkan hobi fotografi alam. Itu sebabnya, ia membawa dua body kamera digital SLR: Nikon D100 dan D70s dengan berbagai lensa, termasuk lensa tele 200mm.
Pada perjalanan kali ini target Sugeng yang tergabung dalam Pontianak Photography Club tak muluk-muluk: membidik alam dan kehidupannya. Bila beruntung, ia berharap dapat memotret satwa liar, seperti babi hutan, kijang, rusa, enggang gading dan rangkong badak.
Untuk mendapat gambar dua satwa terakhir itu memang perlu modal sendiri, meski keduanya seringkali melintas di atas tajuk pepohonan tinggi. “Kamu mesti merasakan nikmatnya petualangan di Betung Kerihun,” ujar Sugeng kepada saya.
Saat kami mendirikan tenda sementara di tepi Sungai Pono, salah satu sungai yang mengalir di bagian hulu Betung Kerihun, kesempatan mengabadikan gambar rangkong telah terbuka. Ade Kasihani, salah seorang anggota tim dari Dinas Pariwisata Kabupaten Kapuas Hulu, tiba-tiba menunjuk bayangan hitam di angkasa.
Begitu kepala ditengadahkan, Lima bayangan hitam melintas di atas tajuk pepohonan tinggi. Sembari terbang, mereka meraung keras,”honk-hank!”
Wow! Itulah salah satu jenis burung unik yang memiliki tanduk (casque) yang menonjol di atas paruh: Rangkong badak. Beberapa burung malahan sempat bertengger pada salah satu dahan pohon kayu tua yang mengering. Jimmy, rekan perjalanan saya dari WWF Indonesia, segera menyambar kamera digital SLRnya yang telah dipasangi lensa tele, 500 mm. Ia tak lagi sempat memasang tripod, penyangga kamera berkaki tiga.
Jimmy berusaha membidikkan kamera ke arah kawanan burung bernama ilmiah Buceros rhinoceros itu. Sugeng tak mau kalah. Namun, usaha keduanya gagal total. Beberapa burung yang bertengger itu pamit tanpa diminta. Mereka kembali terbang, tak hirau akan sebuah kekecewaan. “Akh..Terlambat!” Jimmy menggerutu.
Meski demikian, ia tetap menyiapkan kameranya di tepi sungai, mengarah ke beberapa cabang dahan pohon tinggi yang menonjol di antara tajuk rimba. Ia masih berharap rangkong badak kembali dan bertengger di dahan tinggi. Hingga senja menyapa, kawanan burung berukuran sangat besar (110 cm) itu tak lagi kembali. Jimmy dan Sugeng pun harus memendam kecewa.
Menurut catatan Wahyu Raharjaningtrah dari Yayasan Pribumi Alam Lestari dan Hari Prayogo dari WWF Indonesia terdapat 301 jenis burung di kawasan Betung Kerihun. Keduanya melakukan penelitian burung pada medio 1996 hingga akhir 1997. Lokasi penelitian meliputi lima daerah aliran sungai (DAS): Bungan, Kapuas-Koheng, Sibau, Mendalam dan Embaloh. Ketinggian lokasi antara 100 sampai 1.400 mdpl.
Kedua peneliti tersebut juga berhasil mengidentifikasi 24 jenis burung endemik Borneo, 4 jenis endemik Sumatera dan Borneo dan 3 jenis endemik Sunda Besar. Untuk burung pengembara (migran) tercatat 23 jenis.
Catatan itu memang terbukti shahih. Dalam setiap perjalanan, kami amat mudah menjumpai burung. Jangan kan di dalam hutan alami, di Desa Tanjung Lokang saja berbagai jenis seringkali menampakkan diri dan mengeluarkan bunyi yang khas.
Sebut saja, elang hitam, rangkong badak, enggang gading, srigunting kelabu, layang-layang api dan burung gereja. Desa ini menjadi pusat kegiatan dan pangkalan induk (base camp) dalam perjalanan kami kali ini.
Desa Tanjung Lokang berada di tepi Sungai Bungan, salah satu sistem DAS yang mengalir di kawasan Betung Kerihun dan termasuk wilayah Kecamatan Kedamin, Kabupaten Kapuas Hulu. Daerah ini dihuni oleh sekitar 100 kepala keluarga (KK) Suku Dayak Hovongan, yang memiliki pertautan sejarah dengan Dayak Punan di Kalimantan Timur.
Selain dipimpin seorang kepala desa, mereka memiliki seorang kepala adat. Tugasnya, mengawal hukum adat dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana Suku Dayak lainnya, Dayak Hovongan memiliki kehidupan warisan nenek moyang. Keseharian mereka diisi dengan berburu, meramu dan berladang. Sebagian warga mencari rezeki lebih dengan mencari sarang burung walet dan gaharu, komoditas yang bernilai tinggi.
Di kala kemarau tiba, mereka menuju tepian sungai untuk mencari emas dengan cara tradisional. “Hukum adat tak mengizinkan kami memakai mesin berkekuatan besar dan merkuri,” kata Muya, mantan Kepala Desa Tanjung Lokang saat berkeliling desa.
Sungai Bungan memang relatif aman terhadap pencemaran merkuri kendati banyak warga desa yang mencari emas di tepi sungai.