Sore Menuju Senja di Jalur Rempah Banda Neira, Kepulauan Rempah

By National Geographic Indonesia, Rabu, 18 Agustus 2021 | 12:58 WIB
Penduduk Negeri Salamun mandi di pantai dan bermain perahu saat matahari mulai menjelang ke peraduan. Di latar belakang, terlihat pulau Gunungapi Banda dan Pulau Naira. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

 

Ia sedih ketika menemukan tempat-tempat yang didatangi ada ketidakadilan. Azas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia nampaknya belum terwujud. Ia sedih melihat petani cengkeh di Ternate-Tidore di saat harga cukai rokok dinaikan harga cengkeh malah anjlok di pengepul. Padahal harga di luaran tinggi. Sementara petani bekerja tanpa jaminan keamanan, kadang jatuh dari pohon menjadi lumpuh dan patah tulang.

Keseimbangan dan azas keadilan ini yang belum ia lihat selama mengunjungi kota-kota pesisir. Bumi yang kaya, seharusnya warganya jadi kaya.

“Sedih sih, lebih ke sedihnya. Kesedihan ini yang ingin akan saya ceritakan dengan cara yang indah,” tutur Is.

Semua yang ia kerjakan Sisir Kota Pesisir ini tujuannya bukan sekedar materi, ini lebih menjadi perjalanan spiritualnya. Karya-karya lagunya pun lebih meditatif. Lagu-lagu Payung Teduh yang ia ciptakan saja sudah menghanyutkan apalagi sekarang ini ditambah lagi lebih meditatif, bisa dibayangkankah bagaimana hasilnya?

“Ini sudah beyond commercial,” begitu kata Is saat ditanya kenapa ia mengerjakan proyek Sisir Kota Pesisir-nya.

Itu pulalah yang membuat ia langsung menyetujui ketika diundang panitia Jalur Rempah Banda Neira untuk mengajar mencipta lagu untuk kaum muda di sana. Komunitas Jalur Rempah Banda Neira dibentuk dalam rangka merekonstruksi dan merevitalisasi peran tempat yang pernah berjaya menjadi negeri penghasil rempah dunia.

Baca Juga: Pala dan Cengkih, Rempah Nusantara yang Menjadi Primadona di Maluku

Is atau Mohammad Istiqomah Djamad, mantan biduan Payung Teduh, memberikan lokakarya penciptaan lagu untuk anak-anak muda Bandaneira. (FERI LATIEF)
 

Koordinator acara, Reza Tuasikal, yang juga pengelola penginapan The Nutmeg Tree di Banda Neira, mengatakan semua yang diundang ke sana adalah atas usulan komunitas.

“Itu komunitas yang undang, anak-anak muda di sini. Ada yang bilang Ebiet G. Ade, Iwan Fals saja deh. Ada yang bilang Is Payung Teduh saja deh, ternyata dia senang bisa ke sini” jelasnya dengan lokat Maluku yang kental.

“Semuanya berbasis komunitas,” lanjutnya lagi.

Saat konser sederhana itu tampaknya semua yang hadir hafal lagu-lagu yang dibawakan Is. Tak heran jika Is didapuk untuk mengajar mereka.

Seharusnya pada tanggal 5 Agustus Is bertolak ke Jakarta. Namun apa mau dikata, cuaca yang buruk dan akses ke Banda Neira yang menantang membuat rencananya terhambat. Perjalanannya tertunda, padahal ia sudah ditunggu untuk acara yang menjadi sumber penghasilannya di Jakarta.

Akhirnya ia bisa tiba di Jakarta tepat waktu, walau sebelumnya cemas tak bisa kembali ke Jakarta sesuai jadwal. Bagi Is, bisa saja kesulitan akses di daerah pesisir di pulau terpencil ini bisa menjadi inspirasi lagi berikutnya. Jangan kaget kalau suatu hari nanti ada lagunya yang berkeluh kesah dengan kesulitan akses di daerah terpencil yang jauh dari mana-mana.

Oh Banda Niera, negeri nan indah permai namun kadang susah dicapai!

Baca Juga: Martha Tiahahu, Perempuan yang Jadi Panglima Perang di Usia 17 Tahun