Dia melarikan diri dan hidup dalam persembunyian di rumah kolega, pabrik, sebuah panti asuhan di Kramat Jakarta, dan taman-taman. Akhirnya, pihak Belanda dan Indonesia sepakat untuk membiarkan Westerling lenyap dalam senyap. Alasannya, untuk menjaga hubungan diplomatis kedua negara itu di kala mendatang.
Dengan paspor bernama palsu dan seragam Angkatan Laut Belanda, Westerling diterbangkan dari perairan Tanjung Priok dengan pesawat Catalina. Dia mendarat di Tanjung Pinang. Dia nyaris tenggelam dengan perahunya, namun mujur terselamatkan. Kemudian dia mendekam di penjara Singapura beberapa bulan atas tuduhan masuk tanpa izin dan paspor palsu.
Akhirnya, lewat Belgia, Westerling berjejak ke Belanda lagi. Dia dan istrinya tinggal di sebuah kota kecil di Provinsi Friesland. Dia juga sempat mengisi hari-harinya dengan belajar menyanyi di Konservatorium Amsterdam. Delapan tahun setelah pemberontakan APRA, dia berpentas sebagai penyanyi tenor Puccini Tosca, di Breda, Belanda. Pentas tersebut merupakan pagelaran pertama dan terakhir baginya.
Baca Juga: Mata-mata Cilik di Balik Gemilang Serangan Umum 1 Maret 1949
Kehidupan Westerling berlanjut ke Amsterdam dengan membuka sebuah toko buku langka. Dia meninggal karena gagal jantung pada akhir 1987 dalam usia 68 tahun. Batu nisannya di Purmerend bertuliskan “Voormalig Commandant van het K.S.T. Rakjat Memberi Beliau Gelar Ratu Adil, Rechvaardige Vorst” dan dibubuhi lambang Korps Speciale Tropen.
"Dia begitu kecewa dengan kelakuan pemerintah kepadanya," kenang Celia Veldhuis, putri pertama Westerling dalam sebuah wawancara dengan jurnalis Jakarta Post akhir tahun lalu. "Dia mengabdi kepada negaranya, dan setelah itu dia menjadi kambing hitam. Dia harus berjuang hanya untuk mendapatkan pensiun tentaranya yang jumlahnya tak seberapa. "
Baca Juga: Sepenggal Kisah Monumen Divisi Tujuh Desember di Jantung Jakarta