Cacing Es Berkembang dan Tinggal di Gletser, Ilmuwan: Ini Paradoks

By Fikri Muhammad, Sabtu, 21 Agustus 2021 | 13:00 WIB
Cacing es gletser menutupi permukaan Gletser Paradise di sisi selatan Gunung Rainier, Washington. Hewan-hewan ini berkembang pada titik beku air, sebuah (SCOTT HOTALING)

Nationalgeographic.co.id - Jika melihat gletser, tampak seperti tak bernyawa karena ia berupa bongkahan es yang tandus. Namun, gletser adalah rumah bagi sejumlah organisme kecil, membentuk ekosistem dingin yang berkembang. 

Seperti cacing es di Amerika Utara bagian barat. Ukurannya sekitar setengah inci dan panjangnya setipis benang gigi. Cacing es Mesenchytraeus solifugus ini berada di titik gletser di seluruh Pacific Northwest, British Columbia, dan Alaska. Cacing-cacing itu muncul pada sore dan malam ketika musim panas untuk makan ganggang, mikroba, dan detritus lain di permukaan. Kemudian ia kembali ke dalam es saat fajar dan musim dingin. 

Cacing ini hidup di lapisan air dalam salju dan es, berkembang di titik beku air. Bagi kebanyakan makhluk, ini tidak mungkin, terutama yang berdarah dingin tanpa isolasi seperti cacing. Lalu, bagaimana cacing es melakukannya? Para ilmuwan telah menemukan beberapa trik, mencatat dan memahami keanehan biologis secara mengejutkan.

Daniel Shain, peneliti Universitas Rutgers yang mempelajari cacing itu selama 25 tahun mengatakan bahwa hewan ini dapat membantu kita memahami batas-batas kehidupan di Bumi.

Lalu muncul pertanyaan, apabila gletser menghilang, apakah cacing itu juga ikut hilang? 

"Saya memiliki sedikit keraguan bahwa mereka akan menghilang suatu hari nanti jika gletser terus mencair pada tingkat mereka saat ini," kata Shirley Lang, ahli biologi di Haverford College yang diwartakan oleh National Geographic

Baca Juga: Spesies Ikan yang Amat Hitam Ditemukan, Bisa Serap 99,9 Persen Cahaya

Hukum biologi mengatakan bahwa saat suhu turun reaksi tubuh melambat dan tingkat energi turun. Sementara hewan berdarah panas harus membakar energi untuk menjaga suhu yang relatif konstan, makhluk berdarah dingin menjadi lamban dan bahkan tidak aktif ketika terlalu dingin. Namun bukan cacing es. 

"Tingkat energi mereka naik saat mereka menjadi lebih dingin," tutur Shain. "Dan ini adalah paradoks."

Penelitian Shain dan Lang di Springer Link menjelaskan bahwa itu semua berkaitan dengan molekul khusus yang dikenal sebagai adenosin trifosfat atau ATP, yang fungsinya sebagai mata uang energi dalam sel dan menggerakkan sebagian besar reaksi dalam tubuh. Itu dibuat menggunakan enzim kompleks yang disebut ATP sintase.

Namun cacing es memiliki tweak tambahan dalam DNA yang menciptakan ATP sintase. Hal ini mempercepat produksi ATP. "Ini seperti turbo," kata Shain. 

Shain mengatakan bahwa sulit menjelaskan tentang evolusi, tetapi mungkin saja cacing itu mencuri sepotong materi genetik yang terlihat pada jamur dataran tinggi. Jika demikian, pencurian genetik ini sangat tidak biasa karena DNA yang dicuri biasanya tidak dimasukkan ke dalam mitokondria, tempat ATP dibuat.