Mereka bertugas sebagai 'polisi tambahan' selama konflik Indonesia-Belanda, seperti menjaga keselamatan orang Tionghoa dan menjaga tempat vital seperti gudang, pabrik, perusahaan, dan melindungi tempat tinggal sipil Tionghoa.
Namun dalam perkembangannya, mereka malah terlibat dalam berbagai operasi militer Belanda.
Aktivitas PAT ini ditolak oleh pemerintah Indonesia, dan dikecam kalangan kiri Tionghoa seperti Tjoa Siek Ien dan Tan Ling Djie. Kecaman juga datang dari Uni Soviet lewat perwakilannya di DK PBB, Andrei Gromyko.
Baca Juga: Peran Mahasiswa Al-Azhar dan Semangat Pengukuhan Kedaulatan Indonesia
Sejarawan Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2016) menulis, PAT sebenarnya sempat didukung pendiriannya oleh Sutan Sjahrir. Kendati demikian, aktivitasnya yang mendukung Belanda, dibubarkan secara kekerasan pada 1949 dalam pergerakan kemerdekaan.
PAT sendiri secara struktural dipimpin oleh Loa Sek Hie, mantan anggota Volksraad dari tahun 1927-1942, dan aktif menuntut penghapusan diskriminasi berdasarkan ras dalam UU pemerintah kolonial.
"Sebaik apa pun maksud awalnya, pada akhirnya 'dampak psikologis Pao An Tui justru menimbulkan luka berkepanjangan bagi penduduk pribumi, bahkan orang-orang Cina sendiri'," Didi berpendapat dampaknya yang terjadi hingga kini terkait narasi Tionghoa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
"Agaknya waktu tujuh puluh tahun belum bisa sepenuhnya menghilangkan 'ganjalan sejarah' itu."