Benarkah Pao An Tui Membantu Belanda di Masa Perang Kemerdekaan?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 21 Agustus 2021 | 14:00 WIB
Kelompok pertahanan Pao An Tui (PAT) sedang mengikuti proses perekrutan di Bandung 1947 bersama prajurit KNIL. Mereka awalnya hanya ingin menjaga kalangan Tionghoa-Indonesia di masa kemerdekaan, tetapi situasi membuatnya harus mendukung Belanda. (ANRI)

Nationalgeographic.co.id - Selama revolusi kemerdekaan, tidak sedikit kalangan sipil dan bersenjata menyetujui momentum tersebut. Salah satunya adalah beberapa kalangan etnis Tionghoa lewat perkumpulan Pao An Tui (PAT).

Didi Kwartanada, sejarawan Tionghoa dalam makalah Diingat Sekaligus Dihapuskan, "Cina" dalam Memori Kolektif dan Historiografi Orde Baru, mengutip Benny Setiono. Bahwa, Pao An Tui menyebabkan stigma orang komunis sebagai orang yang tidak mencitai Indonesia.

Padahal, Didi memaparkan, Tionghoa di Nusantara hingga saat ini bukanlah kalangan yang homogen. Sesama mereka bahkan memiliki perbedaan pandangan, budaya, bahkan pandangan politik.

Bahkan, menurut Didi, awal abad ke-20 masyarakat Tionghoa sendiri terpecah menjadi tiga kalangan.

Baca Juga: Usaha Etnis Tionghoa Menginspirasi Gerakan Kemerdekaan Indonesia

Pertama, aliran Sin Po yang mendukung kemerdekaan Indonesia meski menganggap Tiongkok adalah tanah air mereka. Dukungan itu disebabkan sentimen komunisme di Tiongkok terhadap paham kolonialisme Barat di tanah Asia.

Kedua, Perkumpulan Tionghoa Indonesia yang dibawakan oleh Liem Koen Hian. Kalangan ini mendukung kemerdekaan Indonesia, dan menganggapnya sebagai tanah air yang harus dibela.

Sedangkan yang terakhir adalah Chung Hua Hui (CHH), kalangan kapitalis yang mendukung Kerajaan Belanda di Hindia Timur.

"Pada masa transisi setelah Jepang menyerah, banyak terjadi kekerasan yang ditujukan pada Tionghoa, golongan minoritas perantara terbesar. Konflik itu menjadi makin intensif setelah datangnya pasukan Belanda," tulis Didi.

"Di pihak lain, Pemerintah Republik Indonesia menghormati dan berusaha melindungi minoritas Tionghoa. Sebagai contoh, adanya perintah resmi kepada aparat keamanan untuk menembak mati setiap perampok yang tertangkap basah saat menjalankan aksi (khususnya terhadap golongan Tionghoa)."

Kendati demikian, pemerintah masih terbatas dan belum mampu menjamin sepenuhnya hak minoritas, terutama wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan.

Ketika lingkungan internasional baru usai dari Perang Dunia II, Sekutu lewat Belanda-Inggris mengancam untuk datang ke bekas Indonesia. Pemerintah nasionalis di Tiongkok (Kuomintang) merasa ragu untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.