Di Balik Layar Rekonstruksi Rumah Majapahit

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 22 Agustus 2013 | 10:00 WIB
Permukiman Majapahit beratap genting dan berhias ukel. Dindingnya gedek, berlantai batu bata. (Seni: Sandy Solihin/National Geographic Indonesia)

Suatu sore, saya dan Art Director, Lambok E. Hutabarat, berkunjung ke studio arsitektur nan asri milik Osrifoel Oesman di Bintaro. Lelaki berkumis dan selalu mengikat rambutnya yang menjarang itu salah satu sarjana arsitektur yang menekuni dunia arkeologi di Indonesia. Kami sedang menyiapkan sebuah poster "Kota Agung yang Sirna" untuk sisipan National Geographic edisi September 2012 tentang rekonstruksi permukiman dan kehidupan di sudut Ibu Kota Majapahit.

Pada akhir 1990-an, Osrifoel dengan susah payah melakukan rekonstruksi bangunan hunian situs Kota Majapahit di Trowulan.

Dia telah sampai pada kesimpulan bahwa sebagai suatu kota, Majapahit mempunyai tiga kategori ruang. Pertama, ruang makro yang terletak di luar kanal. Kedua, pusat kota metropolitan yang berada di sepanjang jaringan kanal. Ketiga, permukiman. “Bicara kota tanpa pemukiman itu sama saja bohong,” tuturnya.

Penggalian arkeologi Situs Segaran dekat Museum Trowulan telah memunculkan informasi bangunan rumah yang paling lengkap sepanjang masa klasik Indonesia. Temuannya: dinding-dinding batu bata yang terdiri atas beberapa lapis peradaban, lantai halaman, banyaknya pecahan genting, peralatan tembikar, keramik, sumur, dan saluran pembuangan air.

Berdasar temuan arkeologi dan paparan relief-relief candi yang melukiskan rumah-rumah masa Majapahit, Osrifoel bisa membayangkan seperti apa permukiman Kota Majapahit. Ibarat kembali ke masa lalu kemudian membangunnya kembali di masa kini, menurutnya, permukiman masa Majapahit itu seperti kaveling yang terdiri atas kelompok rumah-rumah dalam satu tembok keliling. Juga, adanya pengelompokkan rumah besar, rumah sedang, dan rumah kecil.

Arsitektur Majapahit ini masih bisa ditemui padanannya dengan rumah-rumah tradisi di Bali. “Bukan Majapahit yang mirip Bali, tapi Bali-lah yang mirip Majapahit,” ungkapnya.

Pada 1990-an para arkeolog menemukan kearifan permukiman Majapahit. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Pada 1990-an para arkeolog menemukan kearifan permukiman Majapahit: rumah yang dikelilingi selokan kecil dan halaman menggunakan kerakal berpembatas batu bata. Semuanya dirancang warga Majapahit supaya air segera meresap ke dalam tanah (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Rekontruski permukiman yang dilakukan Osrifoel juga telah membuktikan bahwa pola rumah-rumah di  Kota Majapahit mempunyai suatu sistem yang berpola orientasi yang sama, 5-12 derajat dari arah utara.

Ternyata kearifan lokal arsitektur tradisional di Majapahit—dan mungkin berlaku untuk tradisi lain—utamanya bukan dalam hal penataan bangunan, melainkan penataan ruang hidup. Saya pernah menyaksikan karya rekonstruksi rumah Majapahit ketika dipajang dalam pameran "Majapahit Puncak Peradaban Nusantara Abad 13-14 Masehi" di Museum Nasional pada pertengahan 2007.

Dalam pendaran tata lampu nan elok: Rumah dengan skala sesungguhnya, berdiri di atas batur, beratap genting berhias ukel, berdinding gedek―anyaman bilah-bilah bambu, berlantai batu bata. Ada dua anak tangga kecil yang mengantarkan penghuninya melewati pintu. Halamannya pun dihiasi dengan gentong dan jambangan.

Penghuni rumah tampaknya mengatur halaman rumah sehingga dapat menghindari genangan melalui parit kecil yang mengelilingi rumah dan hamparan susunan krakal bulat berbingkai batu bata untuk memudahkan air meresap. Sangat arif!

Reruntuhan Candi Menak Jinggo di Trowulan menyisakan relief yang menggambarkan bangunan bale-bale. (Mahandis Y Thamrin/National Geographic Indonesia)

Reruntuhan Candi Menak Jinggo di Trowulan menyisakan relief yang menggambarkan bangunan bale-bale dengan enam umpak (landasan batu untuk penyangga tiang kayu). Bangunan terbuka itu bergenting dengan hiasan ukel di sudut-sudutnya. Aristektur Majapahit kini masih dapat dapat ditemukan padanannya di rumah-rumah tradisi Bali. Tengok kisah lengkap Majapahit dalam "Metropolitan yang Hilang" di NGI September 2012. (Mahandis Y Thamrin/NGI).

Sambil mengisap sigaret, Osrifoel berkisah kepada kami. Seminggu sebelum pameran dibuka dia didatangi oleh seseorang berpakaian safari, yang ternyata seorang Pasukan Pengamanan Presiden. Dia meminta Osrifoel untuk memperlebar desain rekonstruksi rumah hanya karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan meresmikan pameran itu.“Itu tangga masuk rumah bisa diperlebar ngga?” tanya petugas kepada Osrifoel.

“Wah, ngga bisa, Pak.”

“Bisa ngga ditinggikan rumahnya?”

“Wah, ini memang rekonstruksi, bentuknya memang seperti ini, Pak”

“Kalau begitu Pak SBY sebaiknya tidak usah masuk.”

“Oh silakan, tidak masuk juga tidak apa-apa, Pak”Namun, pada saat pembukaan akhirnya Presiden masuk ke dalam rumah hasil rekonstruksi tersebut. Dia melangkahkan kaki dengan hati-hati di tangga dan menunduk ketika memasuki rumah rekonstruksi itu. Osrifoel turut menemaninya. Setelah mengamati keadaan rumah, Presiden pun bertanya.  “Kalau begitu konsep Rumah Sangat Sederhana [RSS] kita masih terlalu besar ya. Itu luasnya berapa?”

“Sekitar dua belas meter persegi, Pak”

“Kalau begitu bisa kita kecilin ya RSS itu?”—luas RSS adalah duapuluh satu meter persegi.

“Silakan Pak,” ujar Osrifoel sambil tersenyum hormat.

Demikianlah Osrifoel mengisahkan kepada kami tentang percakapan jenaka antara dirinya dan Presiden saat pembukaan pameran.

Rumah-rumah dalam tradisi tropis seperti Indonesia biasanya berukuran kecil karena menghadapi iklim yang lebih ramah dibandingkan rumah-rumah di iklim empat musim. “Arsitektur kita itu arsitektur halaman,” kata Osrifoel kepada kami. “Fungsi rumah itu hanya untuk tidur.”