Lelaki asal Myanmar itu begitu antusias saat mendapatkan kesempatan mengunjungi desa tradisional Batak Toba. Sebab, ia dapat mendokumentasikan kegiatan perempuan desa menghasilkan tenun ulos yang cantik.
Aung Pyae Soe seperti tak ingin membuang waktu dan bergerak cepat. Aung, begitu ia akrab disapa oleh koleganya dari Indonesia, membidikkan lensa lebar yang melekat pada bodi kamera digital SLR, yang harganya cukup untuk membeli lima motor bebek matik. Seperti tak puas memotret di aktivitas di bagian luar, ia pun menjelajahi bagian dalam rumah tradisional Batak Toba, yang terbuat dari kayu hutan yang masih kokoh walau konon usianya telah melampaui seratus tahun.
Aung yang perawakannya seperti warga Indonesia tak merasa canggung, walaupun tak mampu berbicara bahasa Indonesia, apalagi bahasa setempat. Saat meminta izin memotret kepada tuan rumah, ia dibantu oleh Johnny Siahaan dari Toba Photography Club dari Medan, Sumatra Utara.
Johnny juga membantu Aung, saat ia menyatakan ketertarikannya membeli selembar kain ulos yang telah selesai ditenun sebagai tanda mata. “Harganya, Rp 350.000,” kata Johnny. “Okey,” timpal Aung, yang kerap belajar beberapa patah kata dalam kosa kata Bahasa Indonesia.
Aung adalah salah seorang finalis Garuda Indonesia World Photo Contest 2013. Dari total lima belas finalis, ada lima fotografer dari negeri Aung San Suu Kyi yang terpilih untuk mengikuti babak final yang diselenggarakan di wilayah Sumatra Utara, khususnya Medan, Brastagi, Toba, dan Samosir.
Saat menjelajahi Pulau Samosir, panitia mengajak para finalis mengabadikan kegiatan menenun ulos di Lumban Suhi-suhi Huta Raja, salah satu kampung tradisional yang warganya masih mempertahankan budaya para leluhur ini. Desa yang termasuk wilayah Kecamatan Pangururan masih melestarikan pengetahuan membuat kain tradisional yang terbuat dari benang kapas itu.
Salah seorang penenun yang bernama Marudut, seorang perempuan berusia 59 tahun, keterampilan menenun ulos mereka dapatkan secara turun-temurun. “Kami sering dapat pesanan dari Karo. Bahkan, ada juga dari Jakarta. Inilah contoh ulos pesanan itu,” katanya sembari menunjuk kain tenun yang ia maksudkan. “Kami juga punya tauke dari Karo,” yang akan menjualkan ulos di wilayah kota.
Warga desa memang telah terbiasa menerima kedatangan tetamu. Itu sebabnya, mereka begitu ramah menyambut kedatangan wisatawan yang datang dari berbagai tempat, bahkan dari luar negeri. Tentu saja, mereka tak lupa menjajakan dagangan yang menjadi komoditas utama.
Menurut catatan, masyarakat Batak Toba dahulu hanya memakai kain ulos sebagai pakaian yang dibuat sendiri dengan cara menenun. Namun, sejak wilayah Samosir dikembangkan menjadi destinasi wisata, masyarakat melakukan kegiatan menenun ulos untuk dijadikan sebagai tanda mata bagi wisatawan.
Dalam filosofi hidup masyarakat Batak Toba kain tenun tradisional itu melambangkan pemberian pihak hula-hula kepada boru. Alat tenun yang digunakan adalah teknologi yang sangat sederhana. Bahan-bahan yang menunjang teknologi itu didapatkan dari wilayah sekitar mereka tinggal.
“Biasanya butuh waktu satu minggu,” ujar Ria boru Simarmata, perempuan berusia 73 tahun saat menjawab pertanyaan lama pengerjaan selembar kain tenun ulos. Semakin besar bahan kain yang akan dihasilkan, maka akan semakin lama waktu pengerjaan. Dan, harga jual pun semakin tinggi—tentunya sepadan dengan upaya yang mereka keluarkan.
Dalam sejarah keberadaannya, kain tenun ini memiliki nama, fungsi, nilai dan waktu pemakaian yang berbeda-beda. Menurut MA Marbun dan IMT Hutapea, penulis buku "Kamus Budaya Batak Toba" (1987), setidaknya ada 24 nama ulos dengan nilai, fungsi dan pemakaian yang tidak seragam.
Di antara berbagai nama ulos itu adalah Pinunsaan (Runjatmarisi), Ragi Idup, Ragi Hotang, Ragi Pakko, Ragi Uluan, Ragi Angkola, Sibolang Pamontari, Sitolu Tuho Nagok, Sitolu Tuho Bolean, Suri-suri Na Gok, Sirara, dan Bintang Maratur Punsa.