Seperti Indonesia, Jepang juga berada di jalur Cincin Api Pasifik sehingga kerap diguncang gempa dan dilanda tsunami, salah satunya yang terbesar terjadi pada 11 Maret 2011. Karena itu, Jepang berkomitmen tinggi dalam mengurangi resiko bencana.
Komitmen Jepang untuk pencegahan bencana terlihat dengan berbagai kegiatan yang dilakukan dalam peringatan “National Disaster Prevention Day” atau Hari Pencegahan Bencana Nasional yang tahun ini jatuh pada Minggu (1/9/2013).
Peringatan ini dimulai sejak tahun 1960 dan rutin dilaksanakan sampai sekarang. Tanggal 1 September sebenarnya adalah hari terjadinya gempa besar Kanto (1 September 1923) yang menewaskan 140.000 orang. Dari segi jumlah korbannya, gempa Kanto merupakan yang terbesar dalam sejarah Jepang.
Peringatan untuk menjadikan 1 September sebagai hari penanggulangan bencana nasional baru dimulai tahun 1960 setelah Jepang pulih dari kekalahan di Perang Dunia II. Tak hanya ritual peringatan, tanggal 1 September juga dimanfaatkan untuk pendidikan bencana kepada masyarakat, khususnya anak-anak di sekolah.
Pada hari itu, anak-anak di sekolah Jepang serentak menggelar simulasi evakuasi jika terjadi gempa dan tsunami. Orang tua pun dilibatkan dengan menjemput anak-anak ke sekolah. Sekolah-sekolah di Jepang, memang dipilih di lokasi paling aman dan disiapkan menjadi pusat evakuasi bagi komunitas di sekitarnya.
Karena tahun ini tanggal 1 September bertepatan pada hari Minggu, sebagian sekolah menggelar peringatan pada hari Jumat (30/8/2013), misalnya Sekolah Dasar Sumiyoshi di Kanagawa Perfektur.
Tsunami drill
Abdul Muhari, peneliti tsunami di Laboratory International Research Institute of Disaster Sciences Tohoku University mengatakan, sejak tahun 1995, peringatan hari penanggulangan bencana ini diisi dengan tsunami drill (pelatihan evakuasi tsunami) di kota-kota yang rawan tsunami.
“Awalnya tsunami drill cuma di kota-kota kecil di utara Tohoku, tetapi kemudian juga diikuti oleh kota-kota lain di selatan Jepang seperti Owase dan Kochi,” katanya. “Di Sendai sendiri hari ini dan kemarin kita membantu pelaksanaan tsunami drill di dua kota dengan karakteristik evakuasi yang berbeda.”Tsunami drill ini, menurut Muhari dilakukan dengan sangat serius sehingga menyerupai situasi bencana yang sesungguhnya, sehingga dibutuhkan keterlibatan kampus untuk memberi arahan dan dasar-dasar ilmiah.
“Kota pertama yang kami dampingi adalah Yamamoto yang terletak di antara Sendai Airport dan Soma (Utara Fukushima),” katanya.
“Kami dari Tohoku University diminta untuk assessment persimpangan jalan yang mungkin terjadi kemacetan sewaktu evakuasi,” katanya.
Kota kedua adalah Iwanuma, Berbeda dengan Yamamoto, di Iwanuma masyarakatnya diwajibkan untuk berjalan kaki karena beberapa tempat evakuasi terletak sangat dekat dengan pemukiman penduduk.
Tempat evakuasi tersebut berupa ruang terbuka di sisi luar jalan tol dan jembatan dengan tinggi 35 m dari permukaan laut yang tidak terendam sewaktu tsunami 2011 lalu.
“Tsunami drill di dua kota ini memberikan pelajaran bahwa tidak hanya tempat/tipe tempat evakuasi yang 'unik' dan berbeda di tiap kota, pola evakuasi pun berbeda bergantung pada kondisi geografis setempat dan ketersediaan tempat evakuasi,” katanya.
Belajar dari pengalamanDari pantauan di lapangan, selain rutin menggelar tsunami drill, khususnya di kota-kota yang rentan tsunami, Jepang juga terus belajar untuk membentengi kota-kotanya dari tsunami.
Berbeda dengan Aceh pasca tsunami 2004, yang sebagian besar warga kembali ke area yang pernah dilanda tsunami, tata ruang kota-kota di Jepang yang pernah dilanda tsunami dirombak total.Kawasan yang pernah dilanda tsunami tidak boleh lagi digunakan untuk hunian. Penduduknya direlokasi ditempat aman.
Jika Jepang terus berkomitmen mengurangi risiko bencana melalui upaya pencegahan fisik, maupun pendidikan bencana, bagaimana dengan Indonesia yang juga rentan gempa dan tsunami?