Arkeolog Singkap Stegodon dan Kerbau Purba di Sangiran

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 11 September 2013 | 15:30 WIB
Fosil yang memperlihatkan gigi-geligi rahang atas dari Stegodon yang ditemukan di Desa Grogolan Wetan, Situs Sangiran, Jawa Tengah. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—“Kami menemukan Steggy,” kata Ruly Fauzi menyebut temuan fosil kepala gajah purba atau Stegodon trigonochepalus pada kedalaman hampir lima meter di Situs Warisan Dunia, Sangiran, Jawa Tengah. Steggy diduga pernah hidup di kawasan ini sekitar 700 ribu hingga 800 ribu tahun silam.

Pada akhir Agustus hingga awal September 2013, Pusat Arkeologi Nasional menyelisik singkapan tebing di Desa Grogolan Wetan, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Mereka umumnya para arkeolog muda yang bergelora menyingkap teka-teki kehidupan prasejarah di kawasan yang dikenal sebagai “pusat evolusi manusia dunia”.

Tahun ini mereka berhasil menemukan fosil kepala Steggy si gajah purba, beberapa artefak berburu tinggalan Homo erectus. Di bagian lain, mereka menemukan fosil kerbau purba atau Bubalus palaeokerabau dengan rentang ujung-ujung tanduknya sekitar satu meter lebih.

Dinding kotak gali itu memunculkan lapisan-lapisan endapan nan indah—ibarat potongan kue tar cokelat nan lezat—yang berkisah tentang proses pembentukan cekungan purba Sangiran. Ruly yang sore itu bertopi rimba dan berkaus lengan panjang warna abu-abu, merupakan salah satu ahli arkeologi dalam tim tersebut. Di dasar kotak galinya, dia menunjukkan sebongkah fosil kepala Steggy dengan posisi terbalik sehingga tersingkap gigi-geligi rahang atasnya.

Selain fosil Stegodon, para arkeolog Pusat Arkeologi Nasional juga menemukan artefak prasejarah berupa bola-bola batu. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Di sekitar Steggy terdapat fosil-fosil lain yang tampaknya masih ada kaitanya dengan gajah purba itu. “Ini diduga bagian tulang kaki depan Steggy,” seru Ruly.

“Kalau ini fraktur femur,” ujarnya sambil menunjuk sebongkah fosil yang sudah melapuk, “bagian tulang bonggol paha.”

Menurut Ruly, lapisan arkeologi tempat bersemayamnya Steggy belum sempurna pengendapannya. “Ini tampaknya langsung terkubur deras oleh pasir sehingga endapannya belum keras,” paparnya. “Makanya, kami menggali secara hati-hati dengan kuas di bagian ini, siapa tahu mendapatkan cetakan kaki.”

Kemudian dia memperlihatkan artefak bola-bola batu yang terserak di dekat fosil kepala Steggy. Bisa jadi bola-bola batu itu milik Homo erectus yang digunakannya untuk keperluan berburu. “Pangkasan-pangkasan ini menunjukkan salah satu proses sebelum batu ini menjadi bola batu,” ujar Ruly sambil menunjuk bola batu dalam genggamannya.

“Seperti ini jelas dipangkas,” ujarnya sambil menunjukkan bekas-bekas pangkasan. “Tetapi teknologi pangkasan tadi masih sangat sederhana untuk mendapatkan serpih dengan cepat.”

Leluhur gajah modern ini pernah hidup di Asia sekitar lima juta sampai sepuluh ribu tahun silam. Temuan tim arkeologi menunjukkan bahwa gigi-geligi Steggy bermahkota rendah karena dipengaruhi oleh habitat dan jenis makanannya. Bentuk gigi tersebut sesuai untuk mengunyah daun-daun lembut, bukan untuk melumat rerumputan kering atau biji-bijian.

Fosil kepala kerbau purba muncul dari singkapan tebing di atas temuan Stegodon. Satwa itu pernah mendiami Sangiran 1,7 juta tahun silam hingga 10 ribu tahun yang lalu. Berat badannya berkisar 400 hinga 900 kilogram. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Sekitar dua juta tahun silam Sangiran merupakan laut dalam. Kawasan ini mulai menjadi daratan 900 ribu tahun yang lalu. Stegodon bermigrasi dari daratan Asia ke kawasan Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, hingga Nusa Tenggara Timur tatkala daerah-daerah itu masih dihubungkan oleh daratan.

Truman Simanjuntak, seorang professor riset bidang arkeologi prasejarah dan ketua penelitian tersebut, mempunyai pemikiran untuk mengembangkan lokasi temuan.

Dia berpandangan jauh kedepan. Menurutnya situs ini tak hanya untuk kepentingan penelitian, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat. “Kalau boleh saya sarankan, lokasi ini jangan ditutup kembali,” ujarnya. “Ini satu-satunya contoh yang baru kita punya di Indonesia yang siap ditunjukkan ke publik.”

Truman mempunyai ide untuk mengembangkan lokasi ini sebagai museum yang mengabadikan lapisan-lapisan proses pembentukan Sangiran dan konteks temuan di dalam kotak penggalian. Masyarakat juga dapat mengetahui cara bekerja ahli arkeologi. “Belum pernah orang melihat seperti ini,” ujar Truman. “Temuan di tebing-tebing yang terlihat natural.”  

Kawasan ini merupakan harta yang tak ternilai lantaran lapisan di bawahnya sangat potensial mengandung fosil-fosil penting, bahkan fosil manusia. Oleh karena itu Truman berharap perlu segera mengupayakan lapisan-lapisan tebing itu tetap lestari dan tidak longsor karena erosi air hujan. Selain itu juga mencetak temuan untuk pembuatan replika dan mengamankan temuan aslinya ke Museum Sangiran.

Geolog Awang Harun Satyana (kanan) dan arkeolog senior Truman Simanjuntak (bertopi hitam) tengah melakukan eksplorasi situs-situs yang berpotensi untuk penelitian arkeologi dan geologi . (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Harapannya, ilmu arkeologi dapat lebih berperan kepada masyarakat dengan memberikan gambaran dan pemahaman tentang asal-usul lingkungan Sangiran.

Kelak, masyarakat sekitar dapat turut menyaksikan Steggy dan lingkungannya 800 ribu tahun silam dengan cara pandang seorang ahli arkeologi. “Itu akan sangat menarik,” ungkap Truman. “Itu mungkin terlalu ideal, namun bagi saya tidak ada ideal yang terlalu.”Lalu, bagimanakah sejatinya nasib Steggy? Apakah Steggy malang itu tewas karena diburu Homo erectus dengan senjata bola-bola batunya? Untuk saat ini para ahli arkeologi tersebut tak ingin berspekulasi. Pastinya, hal ini telah menjadi pertanyaan besar dalam penelitian ini.