Sekitar dua juta tahun silam Sangiran merupakan laut dalam. Kawasan ini mulai menjadi daratan 900 ribu tahun yang lalu. Stegodon bermigrasi dari daratan Asia ke kawasan Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, hingga Nusa Tenggara Timur tatkala daerah-daerah itu masih dihubungkan oleh daratan.
Truman Simanjuntak, seorang professor riset bidang arkeologi prasejarah dan ketua penelitian tersebut, mempunyai pemikiran untuk mengembangkan lokasi temuan.
Dia berpandangan jauh kedepan. Menurutnya situs ini tak hanya untuk kepentingan penelitian, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat. “Kalau boleh saya sarankan, lokasi ini jangan ditutup kembali,” ujarnya. “Ini satu-satunya contoh yang baru kita punya di Indonesia yang siap ditunjukkan ke publik.”
Truman mempunyai ide untuk mengembangkan lokasi ini sebagai museum yang mengabadikan lapisan-lapisan proses pembentukan Sangiran dan konteks temuan di dalam kotak penggalian. Masyarakat juga dapat mengetahui cara bekerja ahli arkeologi. “Belum pernah orang melihat seperti ini,” ujar Truman. “Temuan di tebing-tebing yang terlihat natural.”
Kawasan ini merupakan harta yang tak ternilai lantaran lapisan di bawahnya sangat potensial mengandung fosil-fosil penting, bahkan fosil manusia. Oleh karena itu Truman berharap perlu segera mengupayakan lapisan-lapisan tebing itu tetap lestari dan tidak longsor karena erosi air hujan. Selain itu juga mencetak temuan untuk pembuatan replika dan mengamankan temuan aslinya ke Museum Sangiran.
Kelak, masyarakat sekitar dapat turut menyaksikan Steggy dan lingkungannya 800 ribu tahun silam dengan cara pandang seorang ahli arkeologi. “Itu akan sangat menarik,” ungkap Truman. “Itu mungkin terlalu ideal, namun bagi saya tidak ada ideal yang terlalu.”Lalu, bagimanakah sejatinya nasib Steggy? Apakah Steggy malang itu tewas karena diburu Homo erectus dengan senjata bola-bola batunya? Untuk saat ini para ahli arkeologi tersebut tak ingin berspekulasi. Pastinya, hal ini telah menjadi pertanyaan besar dalam penelitian ini.