Begitu mendarat di dermaga, monyet ekor panjang memberikan sambutan dari pepohonan mangrove di dekat dermaga. Tak lama setelah kami mulai mengayunkan langkah, segera terasa bahwa alam pulau ini lebih kering dibandingkan dengan Pulau Komodo.
Sabana tampak lebih dominan dan warnanya lebih kecokelatan. Satu hal lagi, menurut Jackson Benu—salah seorang petugas taman nasional—komodo di pulau ini lebih agresif. Karena itulah tak begitu mengherankan apabila salah satu pemandangan yang mencolok di Pos Rinca adalah tengkorak-tengkorak kerbau dan rusa yang dipajang berjajar di awal jalur.
Rusa, kerbau, dan babi hutan adalah satwa-satwa yang menjadi mangsa utama komodo di Rinca, namun perburuan yang terjadi bukanlah tipikal kejar dan sergap, melainkan tunggu dan sergap.
“Jika beradu lari dengan rusa terutama, komodo pasti kalah lincah,” jelas Jackson. “Karena itu biasanya komodo memanfaatkan kemampuannya bersembunyi dan menyamarkan diri, menunggu buruannya sampai berada dalam jarak yang cukup dekat untuk disergap.”
Dalam konteks taman nasional, komodo bukanlah semata soal kadal raksasa pemakan daging yang diyakini para peneliti masuk kategori purba. Komodo adalah kawasan yang juga meliputi tebing-tebing karst, habitat kelelawar di Pulau Kalong, pantai berpasir warna merah jambu yang disebut Pink Beach (tempat favorit untuk snorkeling), sabana-sabana yang cantik dan dari lautan tampak seolah-olah tak bertuan, permukaan lautan, serta ekosistem terumbu karang di bawahnya yang kaya keanekaragaman hayati.
Senja itu, kami berdiri di geladak Merry, tak jauh dari Pulau Kalong. Tampak ribuan kelelawar terbang membentuk siluet berlatar semburat langit senja, meninggalkan sarang di pulau mangrove itu. Saya sempat mendengar salah satu rekan mempertimbangkan pilihan untuk tinggal lebih lama di Rinca. Ia ingin mengambil lebih banyak foto dan video. Bahkan saya yang sejak semula berniat memperlakukan diri sebagai turis—hanya berbekal satu kamera dan dua lensa—diam-diam tergiur.