Ke Komodo Bersama Merry

By , Jumat, 13 September 2013 | 12:00 WIB
()

Merry menambah kecepatannya perlahan-lahan. Saya berdiri di atasnya, menentang angin, memandang ke depan, penuh antusiasme. Inilah saat yang telah saya tunggu-tunggu sejak lama: pergi ke “taman jurasik”, Taman Nasional Komodo, akhirnya menjadi nyata.

Sekaranglah saatnya, sebentar lagi, lihat nanti saat Merry yang putih dan cantik ini membawa saya merapat ke Loh Liang, gerbang taman nasional yang terletak di Pulau Komodo. Bahkan kedatangan saya untuk pertama kali ini dengan cara yang tak terpikirkan.

Bagaimana tidak. Merry adalah kapal pesiar mewah. Ia membawa rombongan undangan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata berlayar sejak dari Labuan Bajo di ujung barat Pulau Flores, yang baru kami tinggalkan di belakang. Sebenarnya, kalau mau nyaman dan mewah, kapasitas kapal ini hanyalah delapan orang, sesuai kapasitas saat bermalam,” jelas seorang awak.

Ruang kemudi di kapal Merry Makin. (Reynold Sumayku/NGI)

Namun, untuk rombongan 40-an orang ini pun kemewahan Merry masih terasa. Tempat favorit saya adalah geladak di bagian atas, di mana pemandangan dapat leluasa dinikmati ke segala arah.

Tak seberapa lama lagi kami merapat ke dermaga Loh Liang. Daratan Pulau Komodo yang terhampar di depan kami tampak kelam dinaungi langit kelabu yang perlahan-lahan menjadi semakin gelap. Hujan segera turun.

“Awas, hati-hati! Jangan berjalan sendirian memisahkan diri dari rombongan,” begitu kata para petugas Balai Taman Nasional Komodo yang menemani kami dalam iring-iringan menempuh hujan gerimis. Di saat lebih dari 40 orang berjalan bersama di kawasan taman nasional dalam iring-iringan mengular, sebagian di antaranya sambil mengobrol dan bercanda, ketika itu pulalah harapan untuk melihat lebih banyak satwa liar perlahan-lahan harus ditepis dari angan.

Bagaimanapun, sebagai predator penguasa pulau ini, komodo memang perlu diwaspadai. Alasannya mungkin tidak terlalu banyak, tapi semuanya mematikan: gigi-gigi komodo seperti gergaji melingkar dan bisa mengait, pemakan daging, bagus dalam akselerasi, dan kecepatan rata-rata puncaknya mencapai 60 kilometer per jam.

Satu hal lagi: pandai bersembunyi atau menyamarkan diri di hutan. Kalaupun ada sedikit titik lemah, itu adalah staminanya. “Kalau berlari terus, komodo akan kelelahan sendiri dan akhirnya berhenti,” ucap seorang petugas. Tapi siapa yang mau mengambil risiko adu lari?

Kasus-kasus serangan komodo yang diceritakan oleh para petugas telah cukup banyak. Ada seorang anak yang diserang ketika mengambil bola sepak yang ditendang oleh temannya. Ada petugas yang rupanya sudah ditunggu komodo dan digigit kakinya begitu turun dari tangga bangunan di sekitar pos taman nasional.

Ada pula penduduk sekitar yang diserang ketika tengah mengambil kayu bakar di hutan. Salah satu puncak bukit di bahkan dinamai sesuai nama seorang asing yang meninggal diserang komodo setelah memisahkan diri dari rombongannya, pada masa lalu.

Mengerikan? Saya pikir itu relatif. Mungkin itu justru salah satu daya tariknya. Lagipula kita tidak pergi ke tempat yang disebut-sebut “taman jurasik” ini sambil berharap menemukan satwa yang bisa dielus-elus, bukan?

Untuk pertahanan diri sekaligus melindungi pengunjung, para petugas taman nasional membekali diri dengan tongkat kayu sepanjang 2-2,5 meter yang di-buatkan cabang membentuk huruf V pada salah satu ujungnya. Seorang petugas mengatakan, salah satu ujung cabang tongkat itu didekatkan ke hidung komodo untuk mengusir.

Keesokan harinya, kami meng-arah ke Loh Buaya, Pulau Rinca, tetap dalam balutan kemewahan Merry Makin. Mohon maaf berulangkali menyebut Merry karena saya begitu terkesan dengannya, dibanding ketinting atau perahu cepat yang sering membawa saya yang tak bisa berenang ini ke sejumlah tempat.

Begitu mendarat di dermaga, monyet ekor panjang memberikan sambutan dari pepohonan mangrove di dekat dermaga. Tak lama setelah kami mulai mengayunkan langkah, segera terasa bahwa alam pulau ini lebih kering dibandingkan dengan Pulau Komodo.

Sabana tampak lebih dominan dan warnanya lebih kecokelatan. Satu hal lagi, menurut Jackson Benu—salah seorang petugas taman nasional—komodo di pulau ini lebih agresif. Karena itulah tak begitu mengherankan apabila salah satu pemandangan yang mencolok di Pos Rinca adalah tengkorak-tengkorak kerbau dan rusa yang dipajang berjajar di awal jalur.

Rusa, kerbau, dan babi hutan adalah satwa-satwa yang menjadi mangsa utama komodo di Rinca, namun perburuan yang terjadi bukanlah tipikal kejar dan sergap, melainkan tunggu dan sergap.

“Jika beradu lari dengan rusa terutama, komodo pasti kalah lincah,” jelas Jackson. “Karena itu biasanya komodo memanfaatkan kemampuannya bersembunyi dan menyamarkan diri, menunggu buruannya sampai berada dalam jarak yang cukup dekat untuk disergap.”

Dalam konteks taman nasional, komodo bukanlah semata soal kadal raksasa pemakan daging yang diyakini para peneliti masuk kategori purba. Komodo adalah kawasan yang juga meliputi tebing-tebing karst, habitat kelelawar di Pulau Kalong, pantai berpasir warna merah jambu yang disebut Pink Beach (tempat favorit untuk snorkeling), sabana-sabana yang cantik dan dari lautan tampak seolah-olah tak bertuan,  permukaan lautan, serta ekosistem terumbu karang di bawahnya yang kaya keanekaragaman hayati.

Senja itu, kami berdiri di geladak Merry, tak jauh dari Pulau Kalong. Tampak ribuan kelelawar terbang membentuk siluet berlatar semburat langit senja, meninggalkan sarang di pulau mangrove itu. Saya sempat mendengar salah satu rekan mempertimbangkan pilihan untuk tinggal lebih lama di Rinca. Ia ingin mengambil lebih banyak foto dan video. Bahkan saya yang sejak semula berniat memperlakukan diri sebagai turis—hanya berbekal satu kamera dan dua lensa—diam-diam tergiur.