Mosaik Gedung Algemeene di Surabaya: Memecahkan Teka-Teki Jan Toorop

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 13 September 2013 | 23:05 WIB
Mosaik porselen karya Jan Toorop di gedung tinggalan Algemeene. (Mahandis Yoanata Thamrin)

 

 
Singa bersayap di pintu masuk gedung Algemeene. (Mahandis Yoanata Thamrin)
 
 Baca Juga: Cerita Sisi Lain Surabaya: Desa, Kota, dan Sepincuk Semanggi

Tampak depan gedung Algemeene. (Mahandis Yoanata Thamrin)

Baca Juga: Awal Perjalanan Benteng Kedungcowek Menjadi Pusaka Kota Surabaya

Mungkin bisa berarti bahwa Algemeene sebagai lembaga keuangan non-bank lebih mengutamakan pelayanannya kepada warga Eropa ketimbang warga pribumi. Pada zaman Hindia Belanda, kelas warga Eropa memang dipandang lebih terhormat dibandingkan kelas warga pribumi. Demikianlah nasib anak negeri koloni.

Sedangkan pendapat kedua mencoba menghubungkan mosaik porselen tersebut dengan kisah dalam Alkitab dan simbol-simbol yang biasa digunakan bangsa Eropa.

Tersebutlah Firaun, seorang raja dan penguasa Mesir kuno dengan lambang jangka yang berarti Tuhan sang pencipta alam semesta. Dalam kitab Kejadian 41: 5-6 dikisahkan tentang Firaun yang bermimpi, “Setelah itu tertidur pulalah ia dan bermimpi kedua kalinya: Tampak timbul dari satu tangkai tujuh bulir gandum yang bernas dan baik. Tetapi, kemudian tampaklah juga tumbuh tujuh bulir gandum yang kurus dan layu oleh angin timur.”

Singkat cerita, Yusuf menafsirkan mimpi Firaun. Menurut tafsirannya bahwa akan terjadi tujuh tahun kelimpahan di Mesir. Kemudian akan timbul pula tujuh tahun kelaparan yang kelak menguruskeringkan negeri itu.

Dalam mosaik porselen itu, bulir gandum digambarkan dengan biji-bijian berwarna ungu. Tujuh bulir gandum di sisi kanan dengan jam pasir yang masih mengucur menggambarkan tujuh tahun kelimpahan. Sementara, tujuh bulir gandum di sisi kanan dengan jam pasir yang berhenti menggambarkan keadaan paceklik selama tujuh tahun.

Kembali ke kisah Alkitab. Yusuf pun menyarankan Firaun untuk mengumpulkan segala bahan makanan dan gandum, serta menyimpannya pada tujuh tahun masa berkelimpahan.

 

Jan Toorop, pelukis berdarah Jawa-Belanda. Dia lahir di Purworejo 1858. (Mahandis Yoanata Thamrin)
 

Dia adalah Jan Toorop, seorang pelukis bergaya pointillisme, simbolisme, dan art-nouveau. Dia berdarah Jawa-Belanda yang lahir di Purworejo, Jawa Tengah pada 20 Desember 1858. Ayahnya seorang Jawa-Belanda yang menikahi perempuan berdarah Inggris. Seniman yang religius ini wafat pada 3 Maret 1928 di Den Haag, Belanda.