Wabah rabies kemudian menyebar dengan cepat di sebagian besar nusantara selama dua hingga tiga dekade (20-30 tahun) berikutnya karena pergerakan anjing yang ikut dalam pasukan militer Belanda, jaringan perdagangan dan sebagai hewan peliharaan. Persebarannya tetap meluas dan sulit terkendali, meskipun sejumlah kebijakan seperti karantina lokal diberlakukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda dalam mengendalikan epidemi.
Selama tahun 1890-an rabies sudah umum dilaporkan dari Jawa dan pantai timur Sumatra hingga ke Celebes (Sulawesi). Antara 1900 dan 1916, kasus dilaporkan dari telah sampai ke Kalimantan, Maluku, dan pulau-pulau terpencil lainnya. Antara tahun 1897 dan 1916, total 8.826 kasus pasien yang dirawat karena rabies. Sebagian besar (97,5%) kasus pasien yang ditangani telah diobati. Penanganan medis yang luar biasa juga didukung dengan karantina super ketat yang dilakukan, untuk mencegah kembali mewabahnya rabies di Hindia-Belanda.
Baca Juga: Dampak Karantina Wilayah, Hewan-hewan Ini Alami Perubahan Perilaku
Penyebaran wabah rabies membuat pemerintah kolonial turun tangan karena dianggap meresahkan masyarakat. Selain rehabilitasi dan karantina, upaya penting lainnya ialah upaya pencegahan. Pencegahan ini mengacu pada penanganan di ranah sumber penyakit. Dalam hal ini, anjing-anjing sebagai sumber penyakit harus diberantas guna menghentikan penularannya.
Setelah meredanya kasus wabah, salah satu upaya preventif yang dilakukan pemerintah kolonial adalah dengan memberlakukan aturan terkait legalitas kepemilikan anjing, disertai dengan pemenuhan kebersihannya. Legalitas ini berupa peraturan terkait pajak anjing, dimana tiap ekor anjing dipungut pajak sekitar f.1 (1 gulden) per tahun.