Staf pemugaran Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Serang menemukan tiga kerangka manusia di situs Batu Jaya Karawang, Jawa Barat (27/9). Menurut Komara Lana, salah seorang staf tekno arkelologi, penemuan tiga kerangka ini tak disengaja.
“Untuk mengisolasi candi dari air, kami akan membuat saluran. Pada saat melakukan penggaliaan tentunya didahului dengan ekskavasi. Dari ekskavasi inilah ditemukan tiga kerangka,” Komara menjelaskan proses penemuannya.
Posisi mereka sejajar hanya berbeda lapisan penggalian. Kerangka itu tidak berada dalam struktur bangunan candi. Dilihat dari ukuran tulang belulangnya tiga kerangka itu diperkirakan dari usia yang berbeda yaitu dewasa, remaja dan bocah.
Semua kerangka telah diambil dari tanah kecuali kerangka bocah yang diangkat secara utuh dengan tanahnya yang masih solid. Proses pengangkatan dari lokasi sudah berjalan dari empat hari yang lalu. Sekarang kerangka telah berhasil diangkat lengkap dengan tanahnya.
“Umur candi ini diperkirakan dari abad dua Masehi. Tentunya kerangka ini sudah 18 abad usianya,” Komara melanjutkan.
Selain tiga kerangka juga ditemukan gerabah di dekat mayat. Gerabah ini biasanya disebut sebagai tradisi bekal kubur yang biasa dilakukan oleh masyarakat prasejarah. Sayangnya gerabahnya sudah hancur dan belum bisa diidentifikasi.
“Isinya tidak ada, bahkan gerabahnya sudah hancur, sudah terurai. Bagaimana pun secermat mungkin kita harus merekam data,” lanjut Komara lagi.
Prof. Dr. Hasan Djafar, arkeolog senior, yang berada di situs Batu Jaya menjelaskan, ”Ini salah satu kerangka masyakarat Batu Jaya Kuno. Kemungkinan besar berasal dari zaman prasejarah. Untuk tepatnya harus di-carbon dating.”
Arkeolog yang sejak awal meneliti situs Batu Jaya ini memiliki pengalaman panjang berkaitan penemuan artefak di situs ini, “Sudah belasan kerangka utuh ditemukan di sini. Terakhir 2011." Melalui carbon dating diketahui temuan gerabah dan kerangka berasal dari abad ke-2 sampai 4.
Kerangka bocah itu masih lengkap dengan tulang dan giginya. “Kalau anak-anak ini dengan gigi geliginya yang belum sempurna secara anatomis usianya bisa ditentukan,” jelasnya. Jenis kelaminnya pun belum diketahui dengan pasti. Masih perlu diteliti lebih lanjut.
Situs Batu Jaya mulai dilirik para arkeolog pada 1952 saat ditemukan sisa-sisa candi di Cibuaya yang letaknya tak jauh dari situs Batu Jaya. Pemerintah kolonial Belanda tak pernah memetakan keberadaan situs percandian Batu Jaya karena dianggap tak ada. Pada 1952, barulah para petani melaporkan ada penemuan benda bersejarah di Cibuaya.Barulah pada 1984, melalui peninjauan lapangan, Prof. Dr. Ayatrohaedi menemukan situs Batu Jaya. Setahun kemudian, oleh Prof. Dr. Mundardjito, situs Batu Jaya dijadikan lahan Kuliah Kerja Lapangan bagi para mahasiswa arkeologi Universitas Indonesia. Dua profesor itu bersama Hasan Djafar mulai melakukan penelitian intensif di kawasan Batu Jaya. “Padat temuan!” begitu komentar Hasan Djafar tentang situs Batu Jaya.
Di situs Batu Jaya terdapat lebih dari 20 buah reruntuhan bangunan bata yang tersebar di kawasan seluas 5 kilometer persegi. Uniknya, candi yang terbuat dari bata hampir tidak pernah diketemukan di tempat lain di Jawa Barat, kecuali di Batu Jaya.
Ini juga mematahkan anggapan bahwa candi yang terbuat dari bata umumnya berasal dari masa relatif muda dibandingkan candi yang terbuat dari batu seperti Borobudur. Diduga, situs Batu Jaya berkaitan dengan masa prasejarah abad ke-2 dan terus berlanjut sampai masa Kerajaan Taruma Nagara, abad ke-5 sampai 7. Situs agama Buddha ini terletak dekat muara Sungai Citarum. Dahulu, ditengarai adanya kota pelabuhan besar yang menjadi pusat perdagangan internasional. Sebuah berita dari abad ke-3 yaitu kitab Nan Chao I Wu Chih menyebutkan sebuah toponimi Ko-ying yang merupakan pusat perdagangan internasional. Letaknya di bagian barat pulau Jawa. Kata Ko-ying ini yang diyakini oleh O.W. Wolters, peneliti Sriwijaya, adalah Kaiwang (kawang) atau Karawang kini.