Ladang Pembantaian: Wajah Buram Peradaban

By , Sabtu, 19 Oktober 2013 | 10:00 WIB
()

Bila dilihat secara sekilas, pemandangan Choeung Ek museum tampak biasa saja. Hanya terlihat satu buah menara, dan area rerumputan yang mengelilinginya. Namun, hampir semua orang yang mengunjunginya sudah tahu, apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini.

Baru saja menginjakkan kaki di sini, sudah ada 4 orang yang berpapasan dengan saya terlihat terisak menahan air mata. Julie (26) seorang turis asal Newcastle, Inggris, menuturkan kesedihannya. Rasa empatinya tidak terbendung, sehingga dia menangis saat mengelilingi Choeung Ek.

Di tempat saya berpijak, merupakan lokasi dari salah satu tragedi kemanusiaan terbesar yang pernah ada. Pada tahun 1975, Pol Pot - seorang mantan guru - memimpin sebuah genosida, dan mencabut nyawa ribuan orang. Hampir 21 persen dari rakyat Kamboja mati sia-sia, demi tercapainya ideologi komunisme yang diimpi-impikan oleh Khmer Merah, tempat Pol Pot bernaung.

Tempat ini diabadikan sebagai sebuah museum. Didirikan di salah satu titik pembantaian para tawanan Khmer Merah. Luka pedih bangsa Kamboja ini dibekukan menjadi salah satu destinasi wisata yang maknanya sangat mendalam. Memikirkan kata pembantaian, benak saya masih ragu untuk mencernanya.

Namun setelah berjalan sebentar di daerah Choeung Ek, saya langsung bisa merasakan. Masih tersebar di atas tanah, potongan kecil tulang belulang manusia yang terkubur di atas tanah Choeung Ek. Sontak saya terkejut dan mundur selangkah. Namun ternyata tulang-tulang kecil itu memang tersebar di seluruh area museum.

Para tawanan yang dibantai oleh Khmer Merah dikumpulkan dan dikuburkan di bawah tanah. Dengan mudah Anda bisa melihat gundukan-gundukan tanah, seperti lubang besar. Saya menarik nafas panjang, menyiapkan diri dan memulai tur berkeliling Choeung Ek.

Untuk mendapatkan gambaran jelas dan informasi yang lengkap, di pintu masuk Anda bisa menggunakan panduan tur dengan audio. Penjelasan lengkap berbahasa Inggris, memaparkan segala macam informasi yang Anda perlukan.

Saya memejamkan mata. Imajinasi saya melempar jauh saya ke masa di mana pembantaian terjadi. Dari lokasi penyiksaan, sekitar jam delapan malam para tawanan akan dimasukkan ke dalam truk untuk dikirim ke sini. Untuk mencegah tawanan-tawanan yang berontak, mereka akan diberi tahu bahwa akan ada pemindahan sel.

Jelas mereka dibohongi, karena truk itu akan mengirim para tawanan ke lokasi pembunuhan. Jumlahnya bervariasi, terkadang belasan, namun terkadang mencapai 300 nyawa setiap harinya. Saya melangkah ke titik pemberhentian berikutnya. Di hadapan saya tampak kompleks tanah-tanah berlubang. Di area inilah para tawanan dikubur tanpa rasa kasihan.

Biasanya tawanan dipaksa untuk berlutut di pinggir lubang, lalu dieksekusi dengan menggunakan kayu dengan ukuran besar. Terkadang juga dengan pisau dan juga pedang tajam. Mereka jarang menggunakan peluru, karena harga peluru saat itu mahal.

Di bagian utara, Anda akan menemukan sebuah kotak kaca yang menyimpan pakaian-pakaian bekas para tawanan, yang ditemukan selama proses penggalian. Para korban pembunuhan itu biasana ditelanjangi sebelum dibunuh, sehingga banyak ditemukan pakaian berhelai-helai berserakan di tanah. Oleh pengelola museum, pakaian ini dikumpulkan di dalam sebuah kotak kaca.

Killing Tree. (Thinkstock)

Salah satu titik yang tidak akan saya lupakan adalah The Killing Tree. Sebuah pohon besar dan kokoh menjulang. Pada masanya, pohon itu adalah pohon yang digunakan untuk membunuh para tawanan.

Digambarkan dengan jelas, banyak bayi dan anak-anak yang dibunuh dengan cara menghempaskan tubuh dan kepala mereka ke pohon tersebut hingga meninggal.