Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, di antara sesaknya rumah warga Jakarta dan di ujung jalan perkampungan yang mirip labirin, ada sebuah keteduhan. Pekat suara deru mesin berganti dengan riuh suara angin yang menyapu rumpun bambu. Asap pengap lenyap berganti aroma tanah basah. Sejenak, lenyap pula bau kurang sedap kali yang berair kehitaman. Mungkin, bagi sebagian warga Jakarta kenyamanan itu adalah sebuah impian. Maklum saja, dialiri 13 sungai ini, kali-kali di Jakarta tak ubahnya comberan raksasa.
Namun, jangan takut bermimpi. Di pinggiran Jakarta, di bilangan Lebak Bulus sana ada sejengkal surga kecil. Sangga Buana namanya.
Cobalah datang dan larutlah dalam suasana hutan kecil di tepi Sungai Pesanggrahan. Dalam keteduhan, airnya mengalir dalam alunnya tenang seiring goyangan rimbun pohon bambu.
Hutan kota Sangga Buana Sungai Pesanggrahan bisa diakses dari Jalan Karang Tengah Raya. Kalau dari Lebak Bulus, Jakarta Selatan, ambil saja arah ke Cinere, Depok. Ambil belokan ke kanan sebelum masjid yang dikenal warga setempat sebagai Masjid Keong. Setelah menyusuri jalan aspal sempit selebar sekitar 2 meter, ada gerbang kecil yang membawa kita ke sebuah dunia lain, kawasan hutan seluas 120 hektar.
Tempat parkir kendaraan yang cukup luas menyambut para petualang. Di tengah lapangan dengan hamparan rumput hijau, ada bola bumi berwarna biru hijau disangga tegakan kayu. Itulah lambang Sangga Buana yang berarti hutan yang asri. Lingkungan yang terawat adalah penyangga kehidupan manusia yang lestari. Setidaknya itulah filosofi yang tersirat.
Di bawah naungan pohon, ada tempat duduk. Ada juga pondok-pondok bergaya Betawi. Pondok-pondok itu berfungsi sebagai perpustakaan dan langgar. Tidak perlu celingukan mencari penjual tiket masuk. Hutan kota ini bisa dinikmati gratis dan dijamin lebih terawat kebersihannya ketimbang beberapa hutan kota lain di Jakarta.
Sayang kalau menikmati Sangga Buana hanya di tepi lapangan rumput ini. Ada banyak yang bisa dilihat di sini. Peternakan kambing, kelinci, dan kuda. Beberapa jenis burung dan unggas pun ada.
”Yang menonjol di sini juga terkait dengan fasilitas pengolahan sampahnya,” kata H Chaerudin alias Bang Idin, pelopor Sangga Buana.
Yang menarik, ada jalan setapak yang telah dilapisi paving blok untuk menghubungkan berbagai fasilitas di hutan ini. Jalan setapak turut mempermudah kita menjelajahi hutan ini hingga ke tepi Pesanggrahan.
Menurut Bang Idin, hutan Sangga Buana ini terentang sepanjang 38 kilometer sesuai alur Kali Pesanggrahan. Bukan hanya berada di wilayah Jakarta Selatan, melainkan juga Depok dan Tangerang. Di sepanjang 38 kilometer itu sebagian telah terhubung dengan jalan setapak. ”Ada yang berupa jalan tanah. Karena tidak semua boleh dilapisi paving. ”Biar sungainya tidak terganggu,” lanjutnya.
Tanaman lokal
Siang itu, matahari bermurah hati membagi sinarnya. Bilah-bilah cahaya menembus ruang-ruang di antara lebatnya rumpun bambu yang tumbuh subur di pinggiran Pesanggrahan. Di tepi sungai, di seberang hutan kecil itu, dua warga duduk menunggu umpan di ujung kail disambar ikan.
Di tengah sore yang teduh itu, beberapa ekor burung kecil bermain di antara dahan tegakan pohon yang terpelihara baik. Ada sukun, gondang, bintaro, durian, juga sirsak mawar yang menyimpan sejuta khasiat.
Sebagai bagian dari upaya pelestarian kearifan lokal, di kawasan itu juga tumbuh setidaknya 17 jenis bambu asli Betawi dan kawasan di sekitarnya. Bambu itu tidak tumbuh begitu saja, tetapi dibudidayakan dan dikembangkan di sejumlah wilayah di Indonesia.
”Bambu banyak fungsinya, salah satunya sebagai tanggul sungai dan penyaring air yang alami,” kata Bang Idin.
Bambu dan tanaman keras lain yang tumbuh di hutan itu berdiri tegak di bantaran kali yang curam. Akarnya yang mencengkeram kuat hingga jauh ke dalam lapisan tanah mengurangi ancaman longsor.
Bukan hanya keteduhan, itulah nilai positif hutan kecil di pinggir kali itu. Membawa keluarga ke hutan ini bisa mendekatkan anak-anak kita pada alam.
Membangkitkan kesadaran seperti inilah seharusnya sungai dan bantarannya. Memang benar kata-kata iklan, berani kotor itu baik lho ternyata. Sebab, dengan blusukan di hutan ini, lelah berkeringat juga dan pasti ternoda lumpur. Namun, badan jadi segar, jiwa dan pikiran jadi cerah. Ilmu tak sekadar didapat di bangku sekolah, kan?
Alam semesta menyuguhkan banyak ilmu bagi orang-orang yang berpikir jernih. Salah satunya, oase di sisi Pesanggrahan.