Cerita Para Jamaah Haji Perempuan Menyusuri Jalur Rempah ke Kota Suci

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 31 Agustus 2021 | 16:00 WIB
Jemaah haji perempuan asal Banten sekitar abad ke-18 terakhir dalam koleksi catatan Snouck Hurgronje. Mereka menyusuri jalur rempah untuk beribadah. (KITLV)

 

Misal, Tika mengutip catatan dari Mirza Abu Talib, pemungut pajak India pada 1799 yang melihat perempuan dari negeri Belanda, "semua wanita Belanda Eropa sangat gemuk, kotor, dan hambar. Tapi gadis-gadis itu berpenampilan bagus, tampan, dan lincah; mereka juga baik hati tetapi membutuhkan persembahan yang mahal."

Selanjutnya pada ibadah haji di abad ke-19 dan 20, Tika menerangkan ibadah haji mulai didata rinci, termasuk kondisi jamaah dalam perjalanan hingga di tanah suci.

Dalam catatan statistik sejak 1897 hingga 1928, rupanya angka jamaah terus bertambah. Jamaah membludak pada abad periode 1927-1928, sedangkan dalam tahun-tahun tertentu bisa menurun drastis akibat situasi politik seperti perang dan pelarangan bepergian.

Dalam koleksi Snouck Hugronje, ia melihat bahwa perempuan dan laki-laki menaiki kapal yang sama untuk berangkat, dalam ruang yang sama. Para perempuan berangkat haji biasanya ditemani oleh suaminya, dikarenakan hukum syariat.

Baca Juga: Seluk Beluk Cerita Kehidupan Para Nyai di Zaman Hindia Belanda

Umat muslim berkumpul di depan ratusan tenda di kota suci Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah haji. (Samuel M. Swemer/National Geographic Creative)

Pemisahan baru terjadi ketika ada karantina pemeriksaan kesehatan seperti di Pulau Onrust. Kondisi patriarki sering membuat jamaah perempuan diganggu.

"Cerita pengalaman itu berbeda. Di abad ke-19 juga ada regulasi dan larangan oleh pemerintah Hindia Belanda, dan perempuan sering menjadi objek harassments, terkena penyakit, dan terlantarkan," papar Tika.

Beberapa jamaah juga banyak yang menetap di tanah Arab selama beberapa bulan untuk beribadah, mengaji, dan menimba ilmu agama.

Baca Juga: Gunung Batu, Kabut Debu, dan Terbitnya Rindu Negeri Para Nabi

Masjidil Haram dibanjiri cahaya kala senja yang menandakan akhir waktu berpuasa. Tempat ini disesaki jemaah haji dari penjuru Bumi. (Amer Hilabi. AFP/Getty Images)

Salah satu cerita itu adalah pada Hajjah Fatimah dari Kalianget, Jawa Timur. Dia adalah seorang perempuan Indo-Eropa yang mualaf, dan berangkat haji bersama anaknya untuk belajar Islam karena ilmu di Batavia tidak cukup.

Dikutip dari Suara Aisyiyah edisi Desember 1932, sekembalinya ke Hindia Belanda, Fatimah menjadi pendakwah Islam, dan anaknya menjadi seorang ustad (guru agama).

Bagi jamaah yang menetap di sana, mereka memiliki banyak aktivitas untuk bertahan hidup.

"Ada yang nikah di sana, banyak orang kaya yang berwakaf di sana, ada juga yang ikut berjualan untuk pilgirims (jamaah haji lainnya), mengajajar, membuka sekolah untuk perempuan Alquran dan fiqih (tata ibadah) perempuan," kata Tika.

Baca Juga: Apa Saja Sukacita dan Nestapa Berhaji pada Zaman Hindia Belanda?