Cerita Para Jamaah Haji Perempuan Menyusuri Jalur Rempah ke Kota Suci

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 31 Agustus 2021 | 16:00 WIB
Jemaah haji perempuan asal Banten sekitar abad ke-18 terakhir dalam koleksi catatan Snouck Hurgronje. Mereka menyusuri jalur rempah untuk beribadah. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id - Dalam mengisahkan jalur rempah, kerap sejarah menggambarkannya dengan praktik yang berhubungan dengan perdagangan, kekuasaan, dan penjajahan.

Akan tetapi, hanya sedikit yang menceritakan kegunaan lain pada jalur itu, khususnya tentang ibadah haji yang dilakukan setahun sekali oleh umat Muslim. Mahasiswa doktoral Humboldt University of Berlin, Tika Ramadhini, memaparkan bahwa praktik haji di Nusantara sudah terjalin lama seiring dengan kedatangan agama Islam.

Meski catatan sejarah sebelum masa kolonial sedikit yang menggambarkan, dan belum jelas siapa yang pertama kali yang beribadah haji di Indonesia, diyakini rute menuju Mekkah menggunakan jalur rempah: jalur pelayaran yang sudah ada sejak ribuan tahun.

Topik ini menjadi penelitian disertasi Tika di Leiden University, dengan menelusuri arsip kolonial maupun sebelum era kolonialisme Eropa. Penelitian itu berjudul Depiciting the Hajjah: Female Pilgrims from the Dutch East Indies in the Late 19th-Early 20th Century, dan dipresentasikan di Simposium Internasional yang diadakan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNISIA), Senin (30/08/2021).

"Bicara tentang jalur rempah dari Samudera Hindia, tentang haji dalam konteks ini sebenranya tanpa ada rute perdagangan itu sendiri, mungkin enggak ada aktivitas haji," ujarnya dalam Simposium Internasional yang diselenggarakan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNISIA), Senin (30/08/20201).

"Karena, ada hubungan trade dan dakwah, dan proses haji di Nusantara," ia menerangkan. Melalui jalur rempah sebelum masa kolonial, di Hijaz, sudah mengenal jamaah dari Nusantara dengan sebutan 'jawah' yang merujuk pada asal Jawa. Jamaah jawah ini sudah ada dalam naskah berbahasa Melayu sebelum abad ke-15.

Baca Juga: Apa Saja Sukacita dan Nestapa Berhaji pada Zaman Hindia Belanda?

Rumah sakit karantina haji di Pulau Onrust, Teluk Jakarta. Jamaah haji pernah dianggap sebagai penyebar penyakit pes, sehingga dibangunlah karantina haji ini pada 1911. Belakangan, ternyata pagebluk pes diakibatkan oleh tikus-tikus yang terbawa impor beras dari Myanmar. (Tropenmuseum)

Tika menyebutkan, pada masa VOC catatan tentang haji lebih lengkap seperti yang tertua adalah seorang haji di Banda, Maluku. Tetapi bagaimana dengan jamaah haji perempuan?

"Jawabannya sangat jelas, mungkin ada yang berpergian sebelum abad ke-19," ungkapnya. Berhubung penelitiannya hanya menggunakan rentang abad ke-19 hingga ke-20, ia menemukan beberapa catatan sejarah tentang kehadiran perempuan dalam berhaji di masa sebelumnya.

"Bicara tentang haji, di sini, bagaimana skema-skema besar seperti jalur rempah sendiri telah meninggalkan narasi-narasi tentang perempuan. Karena space movement untuk mobilitas orang berpindah, dan juga perubahan sosial, budaya, dan politik yang dihadapi orang yang berpergian."

Akibatnya, banyak catatan orang Eropa, korseponden dan dokumen pribadi memaparkan kehadiran perempuan Nusantara di luar tanah airnya. Tetapi naskah-naskah itu harus diteltiti secara kritis karena mengandung bias rasial dan kelas.

Baca Juga: Sore Menuju Senja di Jalur Rempah Banda Neira, Kepulauan Rempah

 

 

Misal, Tika mengutip catatan dari Mirza Abu Talib, pemungut pajak India pada 1799 yang melihat perempuan dari negeri Belanda, "semua wanita Belanda Eropa sangat gemuk, kotor, dan hambar. Tapi gadis-gadis itu berpenampilan bagus, tampan, dan lincah; mereka juga baik hati tetapi membutuhkan persembahan yang mahal."

Selanjutnya pada ibadah haji di abad ke-19 dan 20, Tika menerangkan ibadah haji mulai didata rinci, termasuk kondisi jamaah dalam perjalanan hingga di tanah suci.

Dalam catatan statistik sejak 1897 hingga 1928, rupanya angka jamaah terus bertambah. Jamaah membludak pada abad periode 1927-1928, sedangkan dalam tahun-tahun tertentu bisa menurun drastis akibat situasi politik seperti perang dan pelarangan bepergian.

Dalam koleksi Snouck Hugronje, ia melihat bahwa perempuan dan laki-laki menaiki kapal yang sama untuk berangkat, dalam ruang yang sama. Para perempuan berangkat haji biasanya ditemani oleh suaminya, dikarenakan hukum syariat.

Baca Juga: Seluk Beluk Cerita Kehidupan Para Nyai di Zaman Hindia Belanda

Umat muslim berkumpul di depan ratusan tenda di kota suci Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah haji. (Samuel M. Swemer/National Geographic Creative)

Pemisahan baru terjadi ketika ada karantina pemeriksaan kesehatan seperti di Pulau Onrust. Kondisi patriarki sering membuat jamaah perempuan diganggu.

"Cerita pengalaman itu berbeda. Di abad ke-19 juga ada regulasi dan larangan oleh pemerintah Hindia Belanda, dan perempuan sering menjadi objek harassments, terkena penyakit, dan terlantarkan," papar Tika.

Beberapa jamaah juga banyak yang menetap di tanah Arab selama beberapa bulan untuk beribadah, mengaji, dan menimba ilmu agama.

Baca Juga: Gunung Batu, Kabut Debu, dan Terbitnya Rindu Negeri Para Nabi

Masjidil Haram dibanjiri cahaya kala senja yang menandakan akhir waktu berpuasa. Tempat ini disesaki jemaah haji dari penjuru Bumi. (Amer Hilabi. AFP/Getty Images)

Salah satu cerita itu adalah pada Hajjah Fatimah dari Kalianget, Jawa Timur. Dia adalah seorang perempuan Indo-Eropa yang mualaf, dan berangkat haji bersama anaknya untuk belajar Islam karena ilmu di Batavia tidak cukup.

Dikutip dari Suara Aisyiyah edisi Desember 1932, sekembalinya ke Hindia Belanda, Fatimah menjadi pendakwah Islam, dan anaknya menjadi seorang ustad (guru agama).

Bagi jamaah yang menetap di sana, mereka memiliki banyak aktivitas untuk bertahan hidup.

"Ada yang nikah di sana, banyak orang kaya yang berwakaf di sana, ada juga yang ikut berjualan untuk pilgirims (jamaah haji lainnya), mengajajar, membuka sekolah untuk perempuan Alquran dan fiqih (tata ibadah) perempuan," kata Tika.

Baca Juga: Apa Saja Sukacita dan Nestapa Berhaji pada Zaman Hindia Belanda?