Mengasah Empati di Pertunjukan Teater “Margi Wuta”

By , Jumat, 29 November 2013 | 14:09 WIB
()

Setelah pertunjukan tahap I selesai, saya bisa memilih untuk menjadi penonton tahap II—di mana mata saya dalam kondisi terbuka—menonton pementasan sesi berikutnya yang sama persis dengan pementasan yang saya alami sebelumnya.

Pada tahap II, posisi saya adalah sebagai penonton yang melihat penonton-penonton lain yang mengalami tahap I (di mana mata mereka ditutup).

Giliran perputaran penonton ini berlaku untuk lima pentas dalam sehari. “Margi Wuta” dilangsungkan selama dua hari. Mengutip keterangan dalam flyer pertunjukan, “Latar belakang pementasan ini adalah kebiasaan konvensi pertunjukan teater yang selalu mengasumsikan mata sebagai alat penyambung gagasan tontonan dan penonton.”

“Dengan menampilkan adegan yang secara visual dan audio menarik, si pembuat tontonan diharapkan mampu berbicara hal-hal pokok yang akan disampaikan. Pementasan ini menawar ulang semua konvensi panggung (penyutradaraan, keaktoran, tata artistik) yang disusun berdasar logika umum ke logika khusus untuk orang tuna netra, sebagai pemain dan penonton.”

Pertunjukan “Margi Wuta” disuguhkan oleh Teater Gardanalla. Dalam memproduksinya, Joned Suryatmoko (penulis naskah sekaligus sutradara) berkolaborasi dengan Ari Wulu (penata musik dan suara).  

Bagi saya, pertunjukan teater ini sangat berhasil mengelola dan menyampaikan pesannya. “Margi Wuta” dengan sangat berhasil mengganggu dan memprovokasi kedirian saya.

Menontonnya, di satu sisi saya seperti diingatkan untuk tidak banyak berkeluh kesah karena saya ada di dunia ini dengan lima indera yang lengkap. Di lain sisi, tidak ada alasan bagi orang yang "lengkap" seperti saya untuk tidak berempati kepada mereka yang berkebutuhan khusus secara fisik, termasuk kepada penyandang visually impaired.