Mengasah Empati di Pertunjukan Teater “Margi Wuta”

By , Jumat, 29 November 2013 | 14:09 WIB
()

Pada selasa sore mendung (26/11), saya tergesa melaju di atas sepeda motor. Seusai menyelesaikan tugas menjemput putera saya dari sekolahnya, saya lalu menuju Asrama Syantikara, Samirono, Yogyakarta.

Sepanjang perjalanan, keluhan saya di dalam hati berturut-turut mulai dari sempitnya waktu yang saya miliki, hingga cuaca yang tidak menentu. Pagi cerah, sore mendung tebal, lalu hujan. Keluhan lalu merembet ke jalan yang memadat di jam pulang kantor, terlebih karena hujan turun.

Hati yang penuh keluh kesah itu tiba-tiba saja dibungkam rapat-rapat ketika saya memasuki Aula Asrama Syantikara. Kedatangan saya di sana untuk menonton pertunjukan teater “Margi Wuta” (Bhs.Jawa, artinya ‘Karena Buta’ atau sekaligus ‘Jalan Buta’).

Kami dibutakan! Secara harafiah. Sebelum masuk ke ruang pertunjukan, saya bersama duapuluhan penonton lainnya diharuskan untuk menutup mata kami dengan kain hitam pekat yang sudah disediakan.

Pada saat ‘buta’, saya merasa ada penonton lain yang juga digandengkan tangannya kepada saya. Seorang panitia membimbing kami berjalan. Berjalan pelan, memaksimalkan kepekaan keruangan, dan mempercayakan diri saya sepenuhnya kepada yang membimbing langkah saya.

Pertunjukan “Margi Wuta” disuguhkan oleh Teater Gardanalla, yang dipentaskan di Yogyakarta pada Selasa (26/11) (Aisyah Hilal).

Kesadaran saya semakin ditampar! Di keseharian, saya sering melihat satu, sepasang, atau sekelompok orang tuna netra yang berjalan di keramaian jalan. Mereka berjalan  di antara kepadatan lalu lintas, berhadapan dengan egoisme para pengguna jalan, keriuhan manusia-manusia ‘normal’ yang mendominasi kehidupan di ruang publik.

Dalam kesempatan beberapa menit saja, tingkat kewaspadaan saya atas keselamatan diri saya (di dalam ruangan pula!) terasa diprovokasi sedemikian rupa. Lalu, bagaimana dengan mereka, para penyandang tuna netra? Kesadaran inilah yang menampar saya.

Mas Gori, panitia yang membimbing saya berjalan lalu meminta saya menyerahkan satu tangan saya untuk merasakan kursi plastik di sisi saya. Di situ saya kemudian duduk.

“Margi Wuta” berkisah tentang Harjito (seorang tuna netra, pengajar di Sekolah Luar Biasa/SLB) yang masih terus berkabung atas kematian isteri dan adik iparnya dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Setting kisah adalah rumah Harjito yang sehari-hari ia sediakan sebagai tempat panti pijat tuna netra bagi beberapa rekannya, Getir dan Suratmi.

Duka lara Harjito serta kesetiakawanan Suratmi dan Getir atas kepiluan Harjito disajikan dalam 20 menit yang efektif dan meninggalkan kesan yang mendalam.   

Pertunjukan teater “Margi Wuta” menjadi istimewa karena ia dimainkan oleh enam orang aktor, tiga di antaranya adalah penyandang visually impaired/gangguan penglihatan. Harjito dan Suratmi yang penyandang tuna netra total, serta Getir Supriyanto yang penyandang low-vision.

Pertunjukan ini terdiri dari dua tahap. Ketika mata saya ditutup, saya ada dalam tahap I, di mana saya sebagai penonton menjadi bagian dari pertunjukan.

Setelah pertunjukan tahap I selesai, saya bisa memilih untuk menjadi penonton tahap II—di mana mata saya dalam kondisi terbuka—menonton pementasan sesi berikutnya yang sama persis dengan pementasan yang saya alami sebelumnya.

Pada tahap II, posisi saya adalah sebagai penonton yang melihat penonton-penonton lain yang mengalami tahap I (di mana mata mereka ditutup).

Giliran perputaran penonton ini berlaku untuk lima pentas dalam sehari. “Margi Wuta” dilangsungkan selama dua hari. Mengutip keterangan dalam flyer pertunjukan, “Latar belakang pementasan ini adalah kebiasaan konvensi pertunjukan teater yang selalu mengasumsikan mata sebagai alat penyambung gagasan tontonan dan penonton.”

“Dengan menampilkan adegan yang secara visual dan audio menarik, si pembuat tontonan diharapkan mampu berbicara hal-hal pokok yang akan disampaikan. Pementasan ini menawar ulang semua konvensi panggung (penyutradaraan, keaktoran, tata artistik) yang disusun berdasar logika umum ke logika khusus untuk orang tuna netra, sebagai pemain dan penonton.”

Pertunjukan “Margi Wuta” disuguhkan oleh Teater Gardanalla. Dalam memproduksinya, Joned Suryatmoko (penulis naskah sekaligus sutradara) berkolaborasi dengan Ari Wulu (penata musik dan suara).  

Bagi saya, pertunjukan teater ini sangat berhasil mengelola dan menyampaikan pesannya. “Margi Wuta” dengan sangat berhasil mengganggu dan memprovokasi kedirian saya.

Menontonnya, di satu sisi saya seperti diingatkan untuk tidak banyak berkeluh kesah karena saya ada di dunia ini dengan lima indera yang lengkap. Di lain sisi, tidak ada alasan bagi orang yang "lengkap" seperti saya untuk tidak berempati kepada mereka yang berkebutuhan khusus secara fisik, termasuk kepada penyandang visually impaired.