Belajarlah dari Betang Toyoi

By , Rabu, 18 Desember 2013 | 19:23 WIB

Berbagai aktivitas itu sudah dilakukan sejak nenek moyang dulu. Tanaman yang dibudidayakan antara lain mentimun, padi, dan sawi. Adapun Supandianto bekerja sebagai penyadap karet di lahan seluas 2 hektar. Hasil yang didapatkan sekitar 100-200 kg getah karet per bulan.

”Harga karet saat ini sedang rendah, sekitar Rp 7.000 per kg. Kalau harga yang bagus sekitar Rp 10.000, bahkan pernah Rp 12.000 per kg,” kata Supandianto.

Sore menjelang gelap, kami harus pamit. Apalagi, mendung tebal terlihat menggayut di kejauhan. Animar menawarkan agar kami menginap di Betang Toyoi. Dengan terpaksa kami menolak tawaran Animar untuk berlama-lama di betang yang nyaman itu.

”Silakan datang kembali lain waktu. Sudah banyak wisatawan yang menginap di Betang Toyoi. Malah, ada pasangan yang berbulan madu di sini,” ujarnya seraya tertawa.

Jika hendak menuju Betang Toyoi, pengunjung harus berhati-hati saat musim hujan. Kendaraan yang digunakan pun sebaiknya berpenggerak empat roda. Di tengah perjalanan, kami menemukan sebuah truk tak kuat mendaki tanjakan jalan tanah yang curam.

Lumpur tebal membuat ban selip dan truk terjebak. Truk itu bahkan harus didorong sebuah mesin giling. Mobil minibus kami pun harus berjibaku menerabas lumpur. Bau ban terbakar terasa menyengat. Setelah sekitar 30 menit mencoba mendorong ditambah manuver mobil, kami lolos dari jebakan lumpur.

Sebelum melanjutkan perjalanan, kami menoleh ke belakang. Di jalur curam, antrean panjang truk tampak tak berkutik menghadapi ganasnya lumpur. Saat perjalanan, kami juga menyaksikan pemandangan lain yang memprihatinkan.

Banyak lahan masih mengepulkan asap. Lebih dari sepuluh kali kami melihat lahan luas yang dibakar. Lahan-lahan itu akan digunakan untuk berladang. Membakar lahan dilakukan karena biayanya murah.