Belajarlah dari Betang Toyoi

By , Rabu, 18 Desember 2013 | 19:23 WIB

Betang Toyoi letaknya di Desa Tumbang Malahui, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Tumbang dalam bahasa Dayak Ngaju artinya muara. Namun, ada muara lain yang jauh lebih mengagumkan di betang atau rumah tradisional khas Dayak itu. Ke muara itulah kami menuju.

Pagi itu kami sudah bersiap meluncur dari Palangkaraya, ibu kota Kalteng. Mobil tipe minibus meluncur di jalan aspal mulus hingga sekitar Kasongan, ibu kota Kabupaten Katingan. Selepas itu adalah jalur tanah dan aspal yang silih berganti.

Kami beristirahat sejenak di Kelurahan Tumbang Talaken, Kecamatan Manuhing, Kabupaten Gunung Mas. Nila pedas menjadi santapan siang. Ikan sebagai lauk memang mudah ditemukan di Kalteng yang sarat dengan sungai besar. Setelah perjalanan sekitar tiga jam, sampailah kami di Betang Toyoi.

Tiang berpucuk ukiran harimau dan sandung atau rumah panggung kecil tempat menyimpan kerangka leluhur menyambut kami di depan betang. Kami diterima keramahan Animar Nanyan Toyoi (57). Saat dijumpai, Animar sedang membuat kerajinan tetapi ia bersedia meluangkan waktu meski kami belum membuat janji. Animar pun berkisah mengenai Betang Toyoi. Para penghuni betang ternyata memeluk agama yang berbeda-beda. Di Betang Toyoi, kami belajar kerukunan yang kini semakin langka. Umat Hindu Kaharingan, Islam, dan Kristen Protestan hidup bersama dalam satu atap.

Betang, selain sebagai tempat tinggal, ternyata juga menjadi muara pluralisme keyakinan para penghuninya. Pertemuan keimanan dalam satu kekerabatan besar itu kami anggap luar biasa.

”Sebagian besar penghuni pergi berpencar-pencar untuk merantau. Kalau sedang berkumpul, semua ada enam keluarga,” tutur Animar.

Mereka berjumlah 25 orang. Setidaknya sudah 50 tahun terakhir keberagaman itu berlangsung. Betang Toyoi sudah berdiri sejak tahun 1869. ”Tidak masalah kalau penghuni betang Muslim makan ayam dan non-Muslim makan babi. Mereka yang Muslim punya peralatan makannya sendiri,” katanya.

Kami merasa nyaman duduk menyimak penuturan Animar di Betang Toyoi. Betang terasa sangat sejuk sejak kami menapakkan kaki di dalamnya. ”Dulu, betang bisa ditempati hingga 30 keluarga sekaligus. Masih sebanyak itu terakhir waktu tahun 1950-an. Memang sangat ramai,” tuturnya.

Jumlah keluarga lambat laun jauh berkurang karena satu demi satu penghuni betang membangun rumah. Hanya mereka yang belum mampu mendirikan rumah masih tinggal di betang. ”Seandainya semua penghuni sanggup membangun rumah, mungkin juru pelihara saja yang tinggal di betang,” ujarnya.

Meski sudah berabad lalu berdiri, pilar-pilar betang dari ulin masih berdiri kokoh. Bangunan tersebut disangga 28 tiang dengan tinggi 2,5 meter dari permukaan tanah. Tidak tampak tanda-tanda kelapukan sama sekali. Semakin tua, ulin memang kian kuat. Betang memiliki panjang 36 meter, lebar 9,5 meter, dan tinggi 4 meter.

Rumah itu pernah direnovasi Pemerintah Provinsi Kalteng sebanyak tiga kali karena sudah menua. Renovasi pertama pada tahun 1990, merombak lantai bambu dan kulit kayu, menjadi alas dari kayu ulin.

Renovasi kedua dan ketiga dilakukan pada tahun 1995 dan 1997 untuk menambah dinding betang dengan ulin. Sebelumnya, dinding terbuat dari kulit kayu saja. Sementara pemakaian pasak pada atap masih dipertahankan. Meskipun demikian, renovasi tetap diperlukan. Saat hujan deras, beberapa bagian atap masih bocor.

Sekitar dua jam setelah kami datang, juru pelihara Betang Toyoi, Supandianto (30), datang menghampiri. Ia baru datang dari kebun. Supandianto adalah keturunan keenam Toyoi Panji, pendiri betang. Pada siang hari, kebanyakan penghuni betang pergi keluar untuk bekerja seperti menyadap karet, berburu, dan berladang.

Berbagai aktivitas itu sudah dilakukan sejak nenek moyang dulu. Tanaman yang dibudidayakan antara lain mentimun, padi, dan sawi. Adapun Supandianto bekerja sebagai penyadap karet di lahan seluas 2 hektar. Hasil yang didapatkan sekitar 100-200 kg getah karet per bulan.

”Harga karet saat ini sedang rendah, sekitar Rp 7.000 per kg. Kalau harga yang bagus sekitar Rp 10.000, bahkan pernah Rp 12.000 per kg,” kata Supandianto.

Sore menjelang gelap, kami harus pamit. Apalagi, mendung tebal terlihat menggayut di kejauhan. Animar menawarkan agar kami menginap di Betang Toyoi. Dengan terpaksa kami menolak tawaran Animar untuk berlama-lama di betang yang nyaman itu.

”Silakan datang kembali lain waktu. Sudah banyak wisatawan yang menginap di Betang Toyoi. Malah, ada pasangan yang berbulan madu di sini,” ujarnya seraya tertawa.

Jika hendak menuju Betang Toyoi, pengunjung harus berhati-hati saat musim hujan. Kendaraan yang digunakan pun sebaiknya berpenggerak empat roda. Di tengah perjalanan, kami menemukan sebuah truk tak kuat mendaki tanjakan jalan tanah yang curam.

Lumpur tebal membuat ban selip dan truk terjebak. Truk itu bahkan harus didorong sebuah mesin giling. Mobil minibus kami pun harus berjibaku menerabas lumpur. Bau ban terbakar terasa menyengat. Setelah sekitar 30 menit mencoba mendorong ditambah manuver mobil, kami lolos dari jebakan lumpur.

Sebelum melanjutkan perjalanan, kami menoleh ke belakang. Di jalur curam, antrean panjang truk tampak tak berkutik menghadapi ganasnya lumpur. Saat perjalanan, kami juga menyaksikan pemandangan lain yang memprihatinkan.

Banyak lahan masih mengepulkan asap. Lebih dari sepuluh kali kami melihat lahan luas yang dibakar. Lahan-lahan itu akan digunakan untuk berladang. Membakar lahan dilakukan karena biayanya murah.