Kisah dari Balik Dapur Produksi Pertunjukan Teater “Margi Wuta”

By , Rabu, 18 Desember 2013 | 21:30 WIB

“Margi Wuta” yang merupakan kolaborasi Joned Suryatmoko (penulis naskah sekaligus sutradara) dan Ari Wulu (penata musik dan suara) akhir November lalu masih meninggalkan kesan yang membekas di hati saya.

Saya bertemu penonton lain dan bertukar kesan tentang teater ini. Salah satu elemen yang memukau kami adalah tiga pemain penyandang visually impaired (gangguan penglihatan) dalam pertunjukan ini: Harjito, Getir Supriyanto, dan Suratmi.

Seusai menjadi penonton di tahap I dan tahap II di pementasan “Margi Wuta”, saya sempat mengobrol dengan Joned Suryatmoko. Darinya, saya menelisik lebih jauh tentang proses produksi teater empatik ini.

Sejak awal, Joned memang membutuhkan beberapa penyandang visually impaired sebagai aktor utama dalam produksi ini. Pencariannya sampai ke Mardi Wuta, kelompok sosial yang bekerja untuk penyandang visually impaired yang ada di kompleks Rumah Sakit Mata Dr. YAP, Yogyakarta.

Di luar dugaannya, Mardi Wuta memayungi juga Distra Budaya (kelompok seni tradisi Ketoprak, yang seluruh pemainnya adalah penyandang visually impaired). Distra sendiri adalah singkatan disabilitas netra. Kebetulan, Harjito adalah pimpinan kelompok Distra Budaya.

Kelompok ini rutin berlatih satu minggu sekali di RS Mata Dr.YAP. Anggotanya adalah para penyandang visually impaired dari kabupaten-kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Untuk keperluan produksi “Margi Wuta”, Joned menetapkan bahwa semua talent harus yang berdomisili di dalam kota. Hal ini mempertimbangkan bahwa mereka memiliki keterbatasan yang tidak bisa dipaksakan.

“Misalnya, mereka lazim memulai latihan dua jam dari yang diagendakan. Hal ini karena pada umumnya mereka tidak memiliki ‘kemewahan’ diantar dan dijemput dalam kegiatan harian mereka. Mereka mengombinasikan berjalan kaki dan menggunakan kendaraan umum sehari-hari,” papar Joned, “Ada habit yang berbeda, dan saya harus berkompromi dengan situasi ini.” 

Maka, Joned menyusun jadwal latihan yang dilakukan secara terpisah di rumah mereka masing-masing. Misalnya bersama Harjito di rumahnya, atau bersama Getir dan Suratmi di rumah mereka, karena kebetulan mereka adalah suami istri.

Proses produksi “Margi Wuta” hanya melalui empat kali berlatih bersama. Joned menilai latihan semacam ini lebih efektif daripada mengumpulkan pemain seperti dalam latihan-latihan teater konvensional.

Tiga pemain lainnya—Hana Azizia, Desti Indrawati, A.Febrinawan P alias Giant—adalah pemain-pemain yang sudah beberapa kali terlibat dalam project bersama Joned. Karenanya, chemistry ketiganya dalam pertunjukan durasi 20 menit ini pun bisa berlangsung cepat.

Kemampuan Joned sebagai fasilitator diuji, mempertemukan orang dari berbagai disiplin, lalu menjadikannya cair.

Setelah beberapa lama, Giant menjemput Harjito untuk latihan, sehingga Giant memiliki pengalaman berboncengan. Hal sederhana ini memberi pengalaman khusus, karena ketika diboncengi, Harjito akan memegang tubuh pengemudi dengan erat sekali. Joned yakin ia mampu membangun dinamika empatik ini dalam waktu singkat, tinimbang harus mengumpulkan mereka berlatih bersama dan hilir mudik karenanya.

Di samping itu, Joned juga harus mengikuti ritme kesibukan tiga aktor khususnya, karena mereka juga sedang berlatih mempersiapkan pementasan di Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta Desember 2013 mendatang. 

Persoalan berikutnya adalah setting panggung. Bagaimanapun juga, oleh karena keterbatasannya, para pemain visually impaired harus terbiasa dengan setting panggung tempat mereka pentas. Maka diputuskan artistik panggung menyesuaikan pembagian rumah Harjito.  

Rumah asli Harjito berlorong, yang kemudian ditiru oleh artistik panggung “Margi Wuta”. Hanya saja ukurannya diperbesar dari aslinya, demi mempertimbangkan penonton yang menjadi bagian dari setting panggung juga.

Untungnya lagi, karena Harjito, Getir, dan Ratmi adalah sesama rekan dalam kelompok seni Distra Budaya. Pada kehidupan nyata, Getir dan Ratmi pun cukup sering dolan ke rumah Harjito dan akrab dengan tata ruangnya. Semuanya pun tumbuh organik dari sini.

Sebagai aktor Ketoprak, Harjito, Getir, dan Ratmi terbiasa dengan wos treatment (panduan adegan saja, hanya pembabakan, belum sampai ke dialog), bukan naskah tertulis. Cara seperti ini membuka seluasnya pada improvisasi dalam pementasan.

Untuk “Margi Wuta”, Joned membacakan naskah. Para aktor visually impaired ini sempat mengalami kesulitan menginternalisasi kalimat yang datang dari luar (yang dibacakan orang lain). Negosiasi pun dilakukan. Joned memberi kebebasan bagi Harjito, Getir, dan Ratmi untuk mengucapkan dialog dalam Bahasa Jawa seluruhnya, demi mengejar keluwesan mereka berakting.

Yang mengharukan adalah tekad kuat ketiga aktor ini untuk menjajal keberanian mereka keluar dari zona nyaman mereka sebagai aktor. Mereka memilih untuk tetap berlatih menggunakan dialog Bahasa Indonesia. Pada akhirnya, di pementasan itu dialog bercampur Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa.

Dengan komposisi musik apik serta diakhiri dengan vokal Hana dan Aziza yang memukau, saya adalah salah seorang penonton yang dibuat merinding oleh pertunjukan teater ini.