Perubahan Iklim dan Panas Ekstrem Memicu Kenaikan Kasus Kejahatan

By Agnes Angelros Nevio, Selasa, 7 September 2021 | 12:00 WIB
Studi baru mengungkapkan bahwa saat suhu naik, kekerasan dan agresivitas juga meningkat, sementara fokus dan produktivitas menurun. (Nina Malyna/Thinkstock)

Nationalgeographic.co.id—Secara fisiologis, tubuh manusia tidak dibentuk untuk menangani panas di melebihi 35 derajat Celcius, atau sekitar 95 derajat Fahrenheit. Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa ketika panas membebani tubuh seseorang, kinerja mereka dalam berbagai tugas juga terganggu. Para peneliti telah menghubungkan panas yang ekstrem dengan peningkatan agresivitas, kemampuan kognitif yang lebih rendah, dan kehilangan produktivitas.

Dengan meningkatnya suhu global—dan rekor gelombang panas di penjuru dunia—dampak panas  ekstrem pada perilaku manusia dapat menimbulkan masalah yang serius.

Bagi orang-orang dan negara-negara berpenghasilan rendah, dengan sumber daya terbatas untuk tetap tenang saat perubahan iklim memanaskan dunia adalah hal yang mustahil, kata para peneliti. “Efek fisiologis panas mungkin bersifat universal, tetapi cara manifestasinya […] sangat tidak setara,” kata ekonom R. Jisung Park dari UCLA kepada Sciencenews.

Panas dan agresivitas. Para ilmuwan telah mendokumentasikan kesulitan manusia mengatasi panas yang ekstrem selama lebih dari satu abad. Banyak penelitian di laboratorium yang ditujukan untuk memungkinkan tingkat pengendalian yang tinggi.

Misalnya, beberapa dekade yang lalu, psikolog sosial Craig Anderson dan rekan-rekannya menunjukkan kepada mahasiswa empat klip video pasangan yang terlibat dalam dialog. Satu klip bernada netral, sementara tiga klip lainnya menunjukkan ketegangan yang meningkat di antara keduanya. Mahasiswa sarjana yang menonton klip tersebut masing-masing duduk di sebuah ruangan dengan termostat yang diatur ke salah satu dari lima suhu yang berbeda, mulai dari dingin 14 derajat Celsius hingga panas 36 derajat Celcius. Para peneliti kemudian meminta para mahasiswa untuk menilai tingkat ketegangan pasangan.

Anderson, dari Iowa State University di Ames, menemukan bahwa siswa di kamar yang hangat dan tidak nyaman, telah menilai semua pasangan, bahkan yang netral, lebih bermusuhan daripada siswa di kamar dengan suhu yang nyaman. Menariknya, mahasiswa di ruangan dingin yang tidak nyaman juga menilai pasangan lebih bermusuhan.

Baca Juga: Siapa Pelindung Data Pribadi Kita Jika Terjadi Kejahatan Peretasan?

Perubahan iklim memengaruhi semua aspek kehidupan kota, mulai dari pasar tenaga kerja dan ketahanan pangan, hingga pola migrasi dan produktivitas ekonomi. Salah satu perkara yang diremehkan bahwa perubahan iklim mempengaruhi kehidupan kota dalam kaitannya dengan kenaikan kejahatan. (IGARAPE)

Panas cenderung membuat orang lebih mudah marah, kata Anderson, yang temuannya muncul di Advances in Experimental Social Psychology. Dan sebagai hasilnya, "mereka cenderung menganggap segala sesuatunya lebih buruk saat sedang panas daripada saat mereka merasa nyaman."

Penelitian menunjukkan bahwa persepsi seperti itu dapat memberi jalan pada kekerasan ketika orang tidak memiliki jalan keluar. Akan tetapi "hipotesis agresivitas panas" ini sulit ditunjukkan di luar lab. Pasalnya, penghilangan efek panas dari variabel lingkungan atau biologis lain yang terkait dengan agresivitas sulit dilakukan di dunia nyata yang berantakan. Studi dalam beberapa tahun terakhir, bagaimanapun, telah mulai mengkonfirmasi ide tersebut.

Misalnya, dokumen Juli dari Biro Riset Ekonomi Nasional hampir menciptakan kembali tingkat kontrol yang ditemukan di laboratorium dengan berfokus pada narapidana di penjara Mississippi dan narapidana di penjara yang tidak memiliki AC.

Ekonom Anita Mukherjee dari University of Wisconsin–Madison dan Nicholas Sanders dari Cornell University mengamati tingkat kekerasan di 36 fasilitas pemasyarakatan selama 1 Januari 2004 hingga 31 Desember 2010. Secara keseluruhan, setiap fasilitas mengalami rata-rata sekitar 65 tindakan kekerasan per tahun.

Akan tetapi pasangan itu menemukan bahwa pada hari bersuhu panas di atas 27 derajat Celsius—yang terjadi sekitar 60 hari per tahun—kemungkinan kekerasan di antara narapidana naik 18 persen.

"Meskipun tampaknya tidak terlalu panas, sebagian besar hari-hari itu memiliki suhu maksimum rata-rata sekitar 34 derajat Celcius; pembacaan suhu tersebut juga tidak menjelaskan kelembapan tinggi daerah Mississippi," kata Mukherjee.

Selain itu, banyak fasilitas pemasyarakatan yang sudah tua di negara itu kekurangan AC dan ventilasi yang baik, dan suhu di dalam fasilitas seringkali melebihi suhu di luar.

Baca Juga: Begini Upaya Nazi Tutupi Kejahatan Mereka di Kamp Kematian Auschwitz

Kenaikan temperatur telah menghasilkan 4.000 tindakan kekerasan tambahan setiap tahun di fasilitas pemasyarakatan Amerika Serikat. (PIXABAY)

"Politisi sering berkata bahwa menyediakan narapidana dengan AC adalah masalah sepele," kata Mukherjee. “Ketika kita berhadapan dengan suhu lebih dari 120 derajat (Fahrenheit) di dalam penjara selama beberapa hari dalam setahun, itu menjadi masalah moral.”

Implikasi lebih jauh, Mukherjee dan Sanders memperkirakan bahwa kenaikan temperatur telah menghasilkan 4.000 tindakan kekerasan tambahan setiap tahun di fasilitas pemasyarakatan AS.

Penelitian juga menunjukkan bahwa kekerasan meningkat bersamaan dengan panas di luar penjara. Misalnya, selama periode Mei hingga September dari 2010 hingga 2017, kejahatan dan kekerasan di Los Angeles meningkat sekitar 5,5 persen pada hari-hari dengan suhu sekitar 24 derajat Celcius hingga 32 derajat Celcius dibandingkan dengan hari-hari dengan suhu di bawahnya. Mereka melaporkan temuan dalam Journal of Public Economics bahwa kejahatan dan kekerasan hampir 10 persen lebih tinggi pada hari-hari yang lebih panas.

Baca Juga: Daftar 20 Negara Teraman di Dunia, Bagaimana dengan Indonesia?