Survei: Pengetahuan Orang Indonesia tentang Adaptasi Terendah

By , Senin, 6 Januari 2014 | 17:00 WIB

Jika laju pemanasan global penyebab perubahan iklim tidak dihambat, akan terjadi berbagai dampak, mulai dari kekeringan, bencana hidrometeorologi berdaya rusak tinggi, hingga ancaman hilangnya pulau-pulau kecil. Dampak akan semakin besar karena bencana kian meningkat frekuensi dan daya rusaknya, serta semakin tinggi intensitasnya.

Sebelumnya, jelang perhelatan di meja perundingan Konferensi Perubahan Iklim PBB di Warsawa, Polandia, akhir Oktober lalu, studi Climate Asia BBC Media Action (Februari-Oktober 2012) mengungkap, betapa pemahaman masyarakat Asia akan perubahan iklim demikian berjarak dari realitas yang mereka alami.

Di Indonesia, hasil survei menunjukkan, informasi mengenai perubahan iklim tak mengena masyarakat paling rentan di Indonesia, tetapi mereka justru berkeinginan bertindak.

Climate Asia melakukan survei di tujuh negara Asia: Indonesia, Cina, India, Vietnam, Banglades, Nepal, Pakistan. Sekitar 33.500 orang dari tujuh negara tersebut disasar responden.

Masyarakat Indonesia paling kurang mendapat informasi tentang bagaimana merespons perubahan-perubahan di lingkungan mereka. Dari tujuh negara itu, pengetahuan orang Indonesia tentang bagaimana beradaptasi yang terendah.

Temuan Climate Asia cukup kontradiktif. Di satu sisi, 81 persen responden orang Indonesia sadar akan terminologi atau istilah perubahan iklim dan 74 persen responden menyatakan bisa merasakan bahwa perubahan iklim memang benar terjadi.

Sementara sekitar 48 persen responden menyatakan kurang mendapat informasi bagaimana harus beradaptasi (not very well informed) atau tentang bagaimana mengatasi masalah kekurangan suplai air, pangan, dan energi yang mungkin terjadi.

Angka ini nyaris sama dengan warga Cina yang 47 persen respondennya merasa kurang mendapat informasi tentang itu. Sementara lima negara lain angka persentasenya di bawah 40 persen, Vietnam (21 persen), Banglades (36 persen), Pakistan (27 persen), Nepal (34 persen), dan India (29 persen).

Orang Indonesia juga kebanyakan tidak tahu program atau aktivitas penyebaran informasi tentang dampak perubahan iklim terkait pangan, air, bahan bakar, listrik, dan cuca ekstrem—dengan persentase 59 persen itdak tahu, di bawah rata-rata regional, yaitu 60 persen.

Sulit bertindak

Climate Asia BBC menyimpulkan bahwa ada lima kelompok masyarakat terkait keinginan bertindak.

Pertama, kelompok yang bertahan hidup, yang merasa terlalu berat melakukan aksi. Mereka ialah 6 persen dari responden, yang terkena dampak tinggi, tetapi tak bersedia bertindak karena kurang informasi, uang, minat, pengetahuan.

Kelompok kedua adalah mereka yang berjuang (24 persen). Mereka ingin bertindak, tetapi merasa sulit karena kurang informasi dan dukungan.

Kelompok lain, yaitu kelompok beradaptasi (11 persen). Kelompok ini bertindak dan ingin lebih. Mereka punya cukup pengetahuan cara merespons perubahan iklim dan menggunakan teknologi.

Kelompok bersedia (32 persen) merupakan orang-orang kaya dan terdidik, yang memahami isu perubahan iklim, dan akan terkena dampak tinggi perubahan iklim, tetapi justru tak banyak melakukan adaptasi. Mereka kelompok yang ‘khawatir masa depan’.

Kelompok kelima adalah kelompok tak berdampak (27 persen) — mereka tak menganggap perlu melakukan sesuatu.

Amat penting

Penelitian di Indonesia memilih responden daari daerah perdesaan dan kota besar di tujuh provinsi. Yakni Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tenggara. Ada pun sekitar 70 persen dipilih dari perdesaan.

Menurut Ari Muhammad dari Kelompok Kerja Adaptasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), riset ini amat penting bagi pemerintah daerah atau nasional untuk merespons perubahan iklim dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat.

“Dalam isu adaptasi, perubahan perilaku lokal akan menentukan tindakan adaptasi terencana,” katanya.